Thursday, 13 March 2014

Pelangi Tanpa Warna

Hidup ini kejam. Hidup ini dapat memukul keras sekali. Bahkan lebih keras dari pukulanmu. Seperti pak Mahmud yang telah dcabik-cabik oleh kehidupan. Ia begitu kuatnya melawan, kini tak berdaya berlutut di bawah batu besar, terpasung oleh beratnya kesedihan.
Di teras rumah dengan atap bolong-bolong itu ia duduk menatap rinai hujan. Tatapan yang mengundang napas panjang, dan dalam sekali. Tetesan air itu membawa memori. Di butiran hujan itu tergambar kenangan. Wajah-wajah yang kini meninggalkannya. Namun Itu kesalahannya sendiri. Hanya penyesalan yang diam-diam menggerogoti kebahagiaan yang seharusnya menemaninya sekarang. Tiap sore kalau letih bekerja, ia hanya merenung dan berharap waktu bisa di putar kembali. Andai dua puluh empat tahun lalu masih bisa diulang.
***
Dua puluh empat tahun lalu...
“Pak, sudah cukup, kita tidak bisa pasang nomor lagi.” Minah memperingatkan Mahmud.
“Sedikit lagi kita akan jadi orang kaya, Bu. Nomor kali ini jitu, Bapak yakin seratus persen.” Tukas Mahmud.
“Kita sudah kehabisan uang, Pak. Anak-anak harus bayar uang sekolah, beras sudah menipis.”
“Kalau Bapak menang semua akan dibayar, kita bisa beli apapun.” Mahmud memaksa.
Pasrahlah Minah melihat tingkah suaminya. Pesta togel telah mencemari pikiran Mahmud. Saat itu ia kembali memasang angka haram itu. Ia begitu yakin menang. Kali ini pasti rezekinya lagi. Kalau menang ia bisa dapat lima juta. Waktu itu lima juta banyak sekali jumlahnya.
Dan pada hari pengumuman pemenang togel itu, Mahmud berduka. Ya. Habis sudah uang gajinya hasil bekerja di kebun sayuran. Kini ia bingung bukan main. Dimana hendak mencari makan, bagaimana membayar biaya sekolah anak-anak. Ingin ia banting tubuhnya sendiri ke tanah gersang, namun apa daya, takkan ada gunanya. Hidup tidak akan berubah hanya dengan membanting tubuh sendiri, hidup akan berubah dengan membanting tulang.
**
Sakinah, anak bungsunya kelas lima sekolah dasar yang ceria itu terus membujuk ayahnya membelikan sepatu baru.
“Sudah sobek, Pak, malu kepada teman-teman.” Timpal Sakinah saat bapaknya bertanya mengapa ia ingin sepatu baru.
“Nanti.”
“Tapi, Pak..”
“NANTI!!!” Bentak Mahmud.
Sakinah tak berani berkata lagi. Mafhum.
Kembali lembayung senja memberi corak pada sore hari. Keluarga itu begitu sibuk di penghujung siang itu. Mahmud membersihkan alat-alat perkebunan, Minah mengambil air untuk memasak dan berbagai keperluan lain, Suparti dan Maisyaroh bermain loncat tali, sementar si bungsu Sakinah belum pulang entah kemana ia bermain.
Malam sudah datang, Sakinah belum juga pulang. Pergilah Mahmud mencarinya, emosinya bergejolak, darah naik ke kepala. Kalau saja anaknya ia temukan, ia akan beri kepadanya pelajaran. Berani sudah bermain tanpa pamitan dan pulang sampai malam. Menurutnya anaknya sudah keterlaluan. Ia anggap kelakuan Sakinah bentuk perlawanan dari perkataannya. Dan ia tidak pernah terima, ia tidak pernah memaafkan orang yang melawan dirinya.
Malam itu ditemukannya Sakinah di depan toko sepatu. Mereka tinggal di dekat kota jadi tak sulit untuk menjangkau dimana toko sepatu berada. Maka Sakinah tidak mau diajak bapaknya pulang, sebelum dibelikan sepatu baru. Ia merengek. Terus. Lalu Mahmud menyeretnya sampai ke rumah.
Sampai di rumah Mahmud menghantamkan sapu lidi ke tubuh Sakinah. Bukan main kuat jeritan anaknya saat itu. Namun ia tak peduli, ia tak ragu-ragu memukul siapapun yang melawan kata-katanya.
“AAMPPUUUN, PAAK, AAMPUUUUN!!!” Jerit Sakinah dalam tangisannya.
“KAU BERANI MELAWAN SEKARANG!!!! RASAKAN INII!!” Mahmud bahkan memukul sekuat tenaga sampai anaknya tersungkur. Sapu lidi terbuyar.
“AAMPUUUN, PAAAK!!!”
Oh, dunia. Betapa kejamnya dunia. Lihatlah anak sekecil itu, yang tidak mengerti apapun kehendak dunia ini. Lihatlah.
Tak puas memukul dengan sapu lidi, Mahmud menggambil ranting kayu yang patah. Kira-kira sebesar jempol kaki. Lalu dilayangkan kayu itu ke tubuh Sakinah lagi. Sakinah menjerit lebih keras. Sakit sekali. Anak sebelas tahun menerima pukulan sekuat tenaga orang dewasa, siapa pula yang bisa menahan? Bahkan saat ia sudah tersungkur terbaring lemah, Mahmud dengan kejamnya kembali memukulkan ranting kayu itu di kakinya. Kalau Minah tidak menghentikannya, maka semalam penuh Mahmud takkan berhenti. Sementara Sakinah sudah hampir kehilangan kesadarannya karena menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Sejak pemukulan itu, Sakinah demam tinggi. Tubuhnya juga penuh memar-memar yang didapatnya dari pukulan ranting kayu ayahnya itu. Tiap saat ia merasakan sakit. Lalu menangis.
Minah tak kuat melihat kondisi anaknya yang semakin hari semakin parah sakitnya. Ia meminta  Mahmud untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Hari itu Mahmud dan istrinya membawa Sakinah untuk berobat. Dokter bilang sakitnya cukup parah, ditambah trauma dan ketakutannya membuat kondisi semakin memprihatinkan. Sakinah terpaksa harus dirawat inap. Mahmud menarik nafas panjang karna tidak murah membiayai perawatan Sakinah. Namun ia sadar Sakinah adalah darah dagingnya dan penyebab sakitnya anak itu adalah kelakuan kejamnya sendiri. Ia mulai menyesal.
Esok harinya dijual semua barang-barang miliknya. Sepeda yang digunakannya untuk bekerja di kebun sayur, alat-alat kebun, kursi-meja, perabot-perabot, dan lemari pakaian ia korbankan untuk membayar biaya pengobatan Sakinah. Kini ia sadar, kesalahannya selama ini menyusahkannya sendiri.
Penyakit Sakinah semakin parah. Ternyata anak sebelas tahun itu selain memar-memar dipukuli ayahnya, terjangkit demam berdarah pula. Minah yang menungguinya di rumah sakit, sementara Mahmud bekerja di kebun sayur, dan kedua kakaknya, Suparti dan Maisyaroh pergi sekolah. Setelah pulang sekolah kadang mereka datang ke rumah sakit ikut menunggui adiknya, kadang pula mereka harus jaga rumah sambil mengerjakan tugas sekolah.
Hari itu saat berat bagi Minah. Ia yang menjaga Sakinah sendiri di rumah sakit. Anak bungsunya itu sangat ceria dan manis dulunua. Biasanya ia yang membantu ibunya untuk mengambil air bersih, ia juga yang menyetrika pakaian ayahnya, ia juga yang menyapu halaman rumah. Tiba-tiba kerinduan menyusup perlahan melalui napas Minah. Kerinduan akan keceriaan anak bungsunya itu.
“Bu, dengan berat hati saya sampaikan, kondisi anak ibu sedang kritis.” Kata seorang suster memberi tahu.
“Bolehkah saya melihatnya, mbak suster?” Kata Minah.
“Maaf, bu. Nanti saja kalau kondisinya sudah stabil.”
“Tapi saya ingin melihat anak saya, mbak suster.”
“Iya. Kalau nanti tidak apa-apa, Bu.”
“Sekarang!!”
“Tapi, Bu,,”
“Sekarang..!!! Saya mau lihat anak saya sekarang juga!!!!” Tukas Minah memaksa.
Terpaksa suster mengizinkan Minah memasuki ruangan ICU. Dokter sedang menekan-nekan dada Sakinah. Entah apa yang terjadi. Saat itu sedang kemelut di ruangan. Minah yang baru masuk tiba-tiba menjerit.
“INAAAAAAAAH,  SAKIINAAAH, AANAAAKKUUU!!!” Jeritnya.
Memang benar, tak lama kemudian dokter pun menyerah. Sakinah telah tiada.
Saat Mahmud tiba di rumah sakit ia hanya dapat terduduk. Tertunduk. Menyesal sedalam-dalamnya. Ia hanya dapat melihat seonggok mayat anaknya yang ditutupi kain putih.
***
Dua puluh empat tahun kemudian...
Sejak saat kematian itu Minah terkena gangguan jiwa. Kadang ia berbicara sendiri seakan berbicara dengan Sakinah. Kadang ia tersenyum ramah. Ia pernah menghilang selama dua tahun tak punya kabar, entah kemana, namun pulang sendiri akhirnya. Dan kini ia hanya bisa mengambil air di belakang, menyapu halaman dan memasak. Ia sudah hampir tak bisa untuk berbahagia.
Sementara dua kakak Sakinah, Suparti dan Maisyaroh, setelah menikah mereka ikut suaminya ke Jawa. Sejak saat kematian adiknya mereka mambenci ayahnya, Mahmud. Akhirnya mereka pergi, tak peduli dengan berat siksaan dunia kepada ayahnya karena kesalahannya sendiri.
Tuhan murka sudah. Mahmud sekarang miskin. Rumahnya yang berada di tengah kebun kini hampir roboh. Hanya beberapa tiang penyanggah yang menahan dari keruntuhan. Namun jika angin kencang menerpa, mungkin rumah gubuk itu tinggal sejarah. Atap rumah itu bocor, kalau hujan bisa dipastikan seluruh isi rumah basah. Begitu juga dengan Mahmud dan istrinya, pasti kedinginan. Kalau malam penerangnya hanya lampu minyak tanah. Gelap sekali sekelilingnya. Nyamuk berkeliaran mencari darah, sementara tak jarang ular dan hewan liar lainnya menumpang singgah. Menyedihkan sekali.
Mahmud tua kini bekerja serabutan. Kadang ia memotong getah pohon karet yang jarak antara satu pohon dan pohon lainnya adalah lima ratus meter lebih. Dan pohon karet itu hanya berjumlah dua puluh batang. Kadang pula orang  mengupahnya untuk membersihkan kebun, atau mengangkat kayu bakar, namun tenaga tuanya tak mampu lagi untuk bekerja kasar seperti itu. Entah bagaimana nasibnya di masa akan datang.


Hujan menetes di wajah Mahmud yang menggambarkan wajah Sakinah, anaknya yang ceria dan rajin, namun telah ia dzalimi dulu. Hujan memberitahukan kesedihan anaknya melalui pelangi yang hadir laksana tangga langit. Itu Sakinah-kah yang berjalan menuju surga? Seandainya dua puluh empat tahun lalu bisa diulangi lagi. Sekali saja. Pasti pelangi yang ia lihat sekarang akan lebih berwarna, warna-warni kebahagiaan dari wajah Sakinah, Suparti dan Maisyaroh, serta Minah dan wajahnya sendiri.