Hidup
ini kejam. Hidup ini dapat memukul keras sekali. Bahkan lebih keras dari
pukulanmu. Seperti pak Mahmud yang telah dcabik-cabik oleh kehidupan. Ia begitu
kuatnya melawan, kini tak berdaya berlutut di bawah batu besar, terpasung oleh
beratnya kesedihan.
Di
teras rumah dengan atap bolong-bolong itu ia duduk menatap rinai hujan. Tatapan
yang mengundang napas panjang, dan dalam sekali. Tetesan air itu membawa
memori. Di butiran hujan itu tergambar kenangan. Wajah-wajah yang kini
meninggalkannya. Namun Itu kesalahannya sendiri. Hanya penyesalan yang
diam-diam menggerogoti kebahagiaan yang seharusnya menemaninya sekarang. Tiap
sore kalau letih bekerja, ia hanya merenung dan berharap waktu bisa di putar
kembali. Andai dua puluh empat tahun lalu masih bisa diulang.
***
Dua
puluh empat tahun lalu...
“Pak,
sudah cukup, kita tidak bisa pasang nomor lagi.” Minah memperingatkan Mahmud.
“Sedikit
lagi kita akan jadi orang kaya, Bu. Nomor kali ini jitu, Bapak yakin seratus
persen.” Tukas Mahmud.
“Kita
sudah kehabisan uang, Pak. Anak-anak harus bayar uang sekolah, beras sudah
menipis.”
“Kalau
Bapak menang semua akan dibayar, kita bisa beli apapun.” Mahmud memaksa.
Pasrahlah
Minah melihat tingkah suaminya. Pesta togel telah mencemari pikiran Mahmud.
Saat itu ia kembali memasang angka haram itu. Ia begitu yakin menang. Kali ini
pasti rezekinya lagi. Kalau menang ia bisa dapat lima juta. Waktu itu lima juta
banyak sekali jumlahnya.
Dan
pada hari pengumuman pemenang togel itu, Mahmud berduka. Ya. Habis sudah uang
gajinya hasil bekerja di kebun sayuran. Kini ia bingung bukan main. Dimana
hendak mencari makan, bagaimana membayar biaya sekolah anak-anak. Ingin ia
banting tubuhnya sendiri ke tanah gersang, namun apa daya, takkan ada gunanya.
Hidup tidak akan berubah hanya dengan membanting tubuh sendiri, hidup akan
berubah dengan membanting tulang.
**
Sakinah,
anak bungsunya kelas lima sekolah dasar yang ceria itu terus membujuk ayahnya
membelikan sepatu baru.
“Sudah
sobek, Pak, malu kepada teman-teman.” Timpal Sakinah saat bapaknya bertanya
mengapa ia ingin sepatu baru.
“Nanti.”
“Tapi,
Pak..”
“NANTI!!!”
Bentak Mahmud.
Sakinah
tak berani berkata lagi. Mafhum.
Kembali
lembayung senja memberi corak pada sore hari. Keluarga itu begitu sibuk di
penghujung siang itu. Mahmud membersihkan alat-alat perkebunan, Minah mengambil
air untuk memasak dan berbagai keperluan lain, Suparti dan Maisyaroh bermain
loncat tali, sementar si bungsu Sakinah belum pulang entah kemana ia bermain.
Malam
sudah datang, Sakinah belum juga pulang. Pergilah Mahmud mencarinya, emosinya
bergejolak, darah naik ke kepala. Kalau saja anaknya ia temukan, ia akan beri
kepadanya pelajaran. Berani sudah bermain tanpa pamitan dan pulang sampai
malam. Menurutnya anaknya sudah keterlaluan. Ia anggap kelakuan Sakinah bentuk
perlawanan dari perkataannya. Dan ia tidak pernah terima, ia tidak pernah
memaafkan orang yang melawan dirinya.
Malam
itu ditemukannya Sakinah di depan toko sepatu. Mereka tinggal di dekat kota
jadi tak sulit untuk menjangkau dimana toko sepatu berada. Maka Sakinah tidak
mau diajak bapaknya pulang, sebelum dibelikan sepatu baru. Ia merengek. Terus.
Lalu Mahmud menyeretnya sampai ke rumah.
Sampai
di rumah Mahmud menghantamkan sapu lidi ke tubuh Sakinah. Bukan main kuat
jeritan anaknya saat itu. Namun ia tak peduli, ia tak ragu-ragu memukul
siapapun yang melawan kata-katanya.
“AAMPPUUUN,
PAAK, AAMPUUUUN!!!” Jerit Sakinah dalam tangisannya.
“KAU
BERANI MELAWAN SEKARANG!!!! RASAKAN INII!!” Mahmud bahkan memukul sekuat tenaga
sampai anaknya tersungkur. Sapu lidi terbuyar.
“AAMPUUUN,
PAAAK!!!”
Oh,
dunia. Betapa kejamnya dunia. Lihatlah anak sekecil itu, yang tidak mengerti
apapun kehendak dunia ini. Lihatlah.
Tak
puas memukul dengan sapu lidi, Mahmud menggambil ranting kayu yang patah.
Kira-kira sebesar jempol kaki. Lalu dilayangkan kayu itu ke tubuh Sakinah lagi.
Sakinah menjerit lebih keras. Sakit sekali. Anak sebelas tahun menerima pukulan
sekuat tenaga orang dewasa, siapa pula yang bisa menahan? Bahkan saat ia sudah
tersungkur terbaring lemah, Mahmud dengan kejamnya kembali memukulkan ranting
kayu itu di kakinya. Kalau Minah tidak menghentikannya, maka semalam penuh
Mahmud takkan berhenti. Sementara Sakinah sudah hampir kehilangan kesadarannya
karena menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Sejak
pemukulan itu, Sakinah demam tinggi. Tubuhnya juga penuh memar-memar yang
didapatnya dari pukulan ranting kayu ayahnya itu. Tiap saat ia merasakan sakit.
Lalu menangis.
Minah
tak kuat melihat kondisi anaknya yang semakin hari semakin parah sakitnya. Ia
meminta Mahmud untuk membawa anaknya ke
rumah sakit. Hari itu Mahmud dan istrinya membawa Sakinah untuk berobat. Dokter
bilang sakitnya cukup parah, ditambah trauma dan ketakutannya membuat kondisi
semakin memprihatinkan. Sakinah terpaksa harus dirawat inap. Mahmud menarik
nafas panjang karna tidak murah membiayai perawatan Sakinah. Namun ia sadar
Sakinah adalah darah dagingnya dan penyebab sakitnya anak itu adalah kelakuan
kejamnya sendiri. Ia mulai menyesal.
Esok
harinya dijual semua barang-barang miliknya. Sepeda yang digunakannya untuk
bekerja di kebun sayur, alat-alat kebun, kursi-meja, perabot-perabot, dan
lemari pakaian ia korbankan untuk membayar biaya pengobatan Sakinah. Kini ia
sadar, kesalahannya selama ini menyusahkannya sendiri.
Penyakit
Sakinah semakin parah. Ternyata anak sebelas tahun itu selain memar-memar
dipukuli ayahnya, terjangkit demam berdarah pula. Minah yang menungguinya di
rumah sakit, sementara Mahmud bekerja di kebun sayur, dan kedua kakaknya,
Suparti dan Maisyaroh pergi sekolah. Setelah pulang sekolah kadang mereka
datang ke rumah sakit ikut menunggui adiknya, kadang pula mereka harus jaga
rumah sambil mengerjakan tugas sekolah.
Hari
itu saat berat bagi Minah. Ia yang menjaga Sakinah sendiri di rumah sakit. Anak
bungsunya itu sangat ceria dan manis dulunua. Biasanya ia yang membantu ibunya
untuk mengambil air bersih, ia juga yang menyetrika pakaian ayahnya, ia juga
yang menyapu halaman rumah. Tiba-tiba kerinduan menyusup perlahan melalui napas
Minah. Kerinduan akan keceriaan anak bungsunya itu.
“Bu,
dengan berat hati saya sampaikan, kondisi anak ibu sedang kritis.” Kata seorang
suster memberi tahu.
“Bolehkah
saya melihatnya, mbak suster?” Kata Minah.
“Maaf,
bu. Nanti saja kalau kondisinya sudah stabil.”
“Tapi
saya ingin melihat anak saya, mbak suster.”
“Iya.
Kalau nanti tidak apa-apa, Bu.”
“Sekarang!!”
“Tapi,
Bu,,”
“Sekarang..!!!
Saya mau lihat anak saya sekarang juga!!!!” Tukas Minah memaksa.
Terpaksa
suster mengizinkan Minah memasuki ruangan ICU. Dokter sedang menekan-nekan dada
Sakinah. Entah apa yang terjadi. Saat itu sedang kemelut di ruangan. Minah yang
baru masuk tiba-tiba menjerit.
“INAAAAAAAAH, SAKIINAAAH, AANAAAKKUUU!!!” Jeritnya.
Memang
benar, tak lama kemudian dokter pun menyerah. Sakinah telah tiada.
Saat
Mahmud tiba di rumah sakit ia hanya dapat terduduk. Tertunduk. Menyesal
sedalam-dalamnya. Ia hanya dapat melihat seonggok mayat anaknya yang ditutupi
kain putih.
***
Dua
puluh empat tahun kemudian...
Sejak
saat kematian itu Minah terkena gangguan jiwa. Kadang ia berbicara sendiri
seakan berbicara dengan Sakinah. Kadang ia tersenyum ramah. Ia pernah
menghilang selama dua tahun tak punya kabar, entah kemana, namun pulang sendiri
akhirnya. Dan kini ia hanya bisa mengambil air di belakang, menyapu halaman dan
memasak. Ia sudah hampir tak bisa untuk berbahagia.
Sementara
dua kakak Sakinah, Suparti dan Maisyaroh, setelah menikah mereka ikut suaminya
ke Jawa. Sejak saat kematian adiknya mereka mambenci ayahnya, Mahmud. Akhirnya
mereka pergi, tak peduli dengan berat siksaan dunia kepada ayahnya karena
kesalahannya sendiri.
Tuhan
murka sudah. Mahmud sekarang miskin. Rumahnya yang berada di tengah kebun kini
hampir roboh. Hanya beberapa tiang penyanggah yang menahan dari keruntuhan.
Namun jika angin kencang menerpa, mungkin rumah gubuk itu tinggal sejarah. Atap
rumah itu bocor, kalau hujan bisa dipastikan seluruh isi rumah basah. Begitu
juga dengan Mahmud dan istrinya, pasti kedinginan. Kalau malam penerangnya
hanya lampu minyak tanah. Gelap sekali sekelilingnya. Nyamuk berkeliaran
mencari darah, sementara tak jarang ular dan hewan liar lainnya menumpang
singgah. Menyedihkan sekali.
Mahmud
tua kini bekerja serabutan. Kadang ia memotong getah pohon karet yang jarak
antara satu pohon dan pohon lainnya adalah lima ratus meter lebih. Dan pohon
karet itu hanya berjumlah dua puluh batang. Kadang pula orang mengupahnya untuk membersihkan kebun, atau
mengangkat kayu bakar, namun tenaga tuanya tak mampu lagi untuk bekerja kasar
seperti itu. Entah bagaimana nasibnya di masa akan datang.
Hujan
menetes di wajah Mahmud yang menggambarkan wajah Sakinah, anaknya yang ceria
dan rajin, namun telah ia dzalimi dulu. Hujan memberitahukan kesedihan anaknya
melalui pelangi yang hadir laksana tangga langit. Itu Sakinah-kah yang berjalan
menuju surga? Seandainya dua puluh empat tahun lalu bisa diulangi lagi. Sekali
saja. Pasti pelangi yang ia lihat sekarang akan lebih berwarna, warna-warni
kebahagiaan dari wajah Sakinah, Suparti dan Maisyaroh, serta Minah dan wajahnya
sendiri.