Friday, 30 December 2011

Aku dan LDK


Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah
TULISAN PUNGGUNG SANG PAHLAWAN

Written by Alif Rahman Hakim

Jambi, 2008. Bulan begitu sempurna, dikawal oleh bintang-bintang dan segerombol awan. Angin berhembus pelan. Suara gemericik air selokan terdengar samar. Jalan raya itu sepi, rumah-rumah terkunci, hanya sesekali kendaraan melintas memecahkan keheningan. Tapi tetap saja sepi, sesepi hatiku.
Hari ini, aku tak seberuntung kemarin. Buku-buku jualanku tak ada satupun yang membeli. Padahal, aku mulai berkeliling lebih awal. Mungkin, memang bukan hari ini rizkiku datang. Aku kembali dengan isi tas yang utuh. Nabi pernah berkata “Barang siapa yang hari ini lebih baik daripada kemarin, maka ia adalah orang-orang yang beruntung”. Tapi aku, apa? Aku adalah orang yang lebih buruk dari kemarin. Buktinya, pendapatanku tak ada. Tak sesuai dengan umat yang diharapkan Nabi
Aku letih, pasrah. Minta ampun kepada Allah, sang pengendali kehidupan. Barangkali aku pernah melakukan dosa yang membuat Ia tak suka, sehingga sekarang langit menahan hasil kerja kerasku.
Dengan terengah-engah, aku terus mengayunkan kaki kearah jalan pulang. Hampir jam 12. Rumahku masih jauh, tiga kilometer lagi. Sementara tak ada satupun angkot atau ojek yang lewat. Terpaksa aku harus berjalan dengan kaki yang hampir roboh ini. Berat. Aku hampir putus asa. Tetapi setiap kali aku berfikir untuk menyerah, tergambar wajah Khanzana, istri yang kunikahi beberapa bulan lalu. Apalagi sekarang ia sedang mengandung calon buah hati kami, tak tega rasanya jika ia menderita. Biarlah aku yang pontang panting mencari nafkah. Kelak, akan kubelikan rumah yang indah, mesin cuci, kasur yang nyaman, televisi dan sebagainya, agar hidup kami sejahtera dan bahagia. Aku janji.
Oh iya, aku Gafur. 25 tahun. Lulusan SMA yang sekarang bekerja sebagai pedagang buku keliling. Sesekali aku juga berjualan obat herba alami dan islami yang bebas dari bahan kimia dan efek samping. Aku tinggal di desa Talinko, desa kecil dipinggir kota Jambi. Jaraknya sekitar 10 km dari pusat kota. Inilah desa dimana aku lahir dan besar. kelak, aku akan membuat desa ini maju. Itu cita-citaku.
Angin berhembus lebih kencang, menggoyangkan pohon-pohon beringin di pinggir jalan. Bulan mulai bersembunyi di balik kegelapan awan. Bintangpun lari. Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegar, kilat menyambar, gerimispun turun. Merintikkan atap rumah-rumah warga yang sedang terlelap. Semakin dingin. Kupercepat langkahku, semoga Khanzana masih menungguku.
Hujan pun turun, semakin lebat. Aku berteduh di teras rumah kecil. Lebih tepatnya, pos yang sudah tidak digunakan untuk ronda lagi. Rumah mewah berlampu putih dan kuning terlihat begitu megah di seberang jalan. Begitu besar dan kokoh. Mungkinkah aku bisa memilikinya?. Mungkin.
Jam tangan casio-ku menunjukkan pukul 00.15, pasti Khanzana khawatir. Tak biasanya aku pulang selarut ini. Sebaiknya kuberi kabar lewat SMS bahwa aku masih di perjalanan pulang, sebaiknya dia tidur duluan.Mataku memandang ke kiri kanan jalan. Kosong. Suara juj-juj pun tak ada. Hanya rintikan hujan yang mengecil pertanda mulai reda. Tiba-tiba kulihat tiga orang berpakaian hitam. Satu diantaranya berambut gondrong. Satu berbadan besar, satu lagi kurus tinggi. Mereka berjalan mengendap-endap. Seakan-akan keberadaannya tidak ingin diketahui orang lain. Sangat mencurigakan. Si gondrong mengeluarkan sesuatu dari jaket hitamnya. Seperti kunci, bukan, lebih tepatnya jarum yang dapat berfungsi sebagai kunci. Yang dapat membuka hampir semua pintu. Ia masukkan jarum itu ke lubang kunci, lalu menggoyang-goyangkannya. Aku semakin curiga. Sebenarnya siapa mereka dan apa yang mereka inginkan? Mungkinkan mereka pencuri, atau perampok? Mungkin saja.
Kuputuskan untuk mendekati mereka dan bertanya.
“maaf tuan, apakah rumah ini milik anda? Bolehkan aku menumpang istirahat sebentar. Sungguh, aku kedinginan. Aku sakin orang-orang baik seperti anda tidak keberatan menolongku”. Tanyaku berpura-pura.
Mereka agak terkejut. Lalu salah tingkah. Si badan besar hendak menjawab
“kami hanya….” Langsung dipotong si gondrong.
“benar, ini rumah saya. Tadi kuncinya hilang sewaktu di diskotik, jadi terpaksa saya membukanya dengan jarum pembuka pintu ini”. Jawabnya
“waah, anda hebat sekali. Bahkan sebelum pergi ke diskotik, anda tahu kunci anda akan hilang. Sehingga anda mempersiapkan jarum pembuka untuk jaga-jaga. Benar-benar perhitungan yang matang. Kalau begitu, silahkan buka rumah anda.”
“tapi, em, hehe iya. Saya sedang berusaha”. Jawabnya terbata-bata.
Si gondrong meneruskan membuka pintu. Setelah berusaha beberapa menit, klek. Terbuka.
“tunggu, kalian ingin mencuri kan? Jujur saja. “ tembakku
Tanpa menjawab. Mereka langsung memelototiku. Tatapan kebencian.
“sekarang, habisi dia John!” kata si gondrong.
Jonh yang berbadan besar tiba-tiba meluncurkan pukulannya kearah perutku. Aku coba menangkis dengan tangan kiriku, tapi tangannya lebih kuat dan akupun terkena pukulan. Sakit, aku terbatuk-batuk. Buku-buku jualanku terjatuh berserakan. Lalu si kurus tinggi memegang tanganku erat. Giliran si gondrong menendang tepat di dadaku. Sakit bukan main. Dadaku sesak. Tak puas, si gondrong meluncurkan pukulan lagi akearah wajahku, sebelum pukulan itu mendarat, akau tendang tepat di perutnya. Untungnya ia kena. Tak sia-sia dulu aku pernah mengikuti bela diri Tapak Suci. Si kurus tinggi masih memgang tanganku erat dari belakang, kucoba melepaskan diri. Ketika ia lengah, aku sikukan sikutku ke perutnya, kena. Ia kesakitan dan mudah bagiku untuk lepas dari cengkramannya. Akupun lolos.
Jika aku meneruskan perkelahian ini, aku yakin aku yang akan kalah. Secara jumlah saja mereka lebih banyak. Aku putuskan untuk kabur saja. Yang terpenting, aku sudah berusaha menjalankan apa yang dikatakan ustadz dulu. “amar ma’ruf nahi mungkar dimanapun kau berada. Jadilah kader umat yang selalu berkorban. Maka kebahagiaanlah yang akan mencarimu.”
Sambil menahan rasa sakit, aku berlari sekencang-kencangnya. Nafasku terengah-engah. Berat dan sesak. Bagaimanapun, mereka dapat berlari lebih kencang dariku. Si gondrong hampir menangkapku. Tapi terus kupercepat lariku. Aku tidak mau mati konyol.
Aku terus berlari melewati lorong yang sempit. Percikan air sisa-sisa hujan yang menggenang mengotori sepatu hitamku. Pencuri-pencuri itu sudah tidak terlihat lagi. Tertinggal dibelakang. Mungkin inilah yang dinamakan The Power of Kepepet. Saat dalam bahaya, manusia bisa berlari sangat kencang, bahkan pagar yang tingginya tiga meter pun bisa di loncati.
Persis di depan sebuah rumah kecil, aku kelelahan dan terjatuh. Pandanganku kabur dan samar. Teriakan pencuri-pencuri itu terdengar semakin mendekat. Tapi aku sudah tak kuat lagi. Kucoba tuk berdiri. Tetapi pandanganku malah menjadi gelap. Lalu kembali kabur. Seperti kaca yang dihinggapi embun.
Beberapa saat kemudian, kulihat ada empat orang. Tiga diantara mereka adalah pencuri itu. Tapi yang satu lagi bukan lah orang yang kukenal. Ia membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Hanya tulisan di jaket hijaunya yang dapat ku baca. “LDK AL-USWAH”. Tulisan di punggung iu, bergoyang-goyang. Lalu kabur. Setelah itu akupun tak bisa melihat apapun. Semoga orang yang dipunggungnya bertuliskan LDK AL-USWAH tadi adalah orang kiriman Allah untk menolongku. Akupun ambruk, tak sadarkan diri.
Saat sadar, Khanzana sudah di sampingku. Aku terbaring lemah. Seorang lelaki sekitar seumuran denganku, ada di sebelah Khanzana. Wajahnya tidak terlalu asing. Hanya potongan rambutnya saja yang agak berubah. Dengan agak terkejut, aku panggil dia,
“Arfan! Benarkah itu dirimu”
“Iya, tadi kau kutemukan di jalan dekat rumah pamanku. Sesorang telah menolongmu melawan para penjahat itu, tapi dia juga babak belur. “ jawab Arfan.
“apa kau mengenalnya?” tanyaku.
“Tidak, apa kau mengingat wajahnya?”
“Tidak, hanya tulisan di punggungnya.”
“apa?”
“LDK AL-USWAH. Siapa pun dia, terima kasih”.
“terima kasih, sesorang dari LDK AL-USWAH”.
Tak lama kemudian, Arfan pamit pulang. Aku dan istriku, Khanzana, tertidur dengan menyimpan ketenangan. “Wajah yang berseri. Hidup ini indah”. kataku.

1 comment: