Thursday, 13 March 2014

Pelangi Tanpa Warna

Hidup ini kejam. Hidup ini dapat memukul keras sekali. Bahkan lebih keras dari pukulanmu. Seperti pak Mahmud yang telah dcabik-cabik oleh kehidupan. Ia begitu kuatnya melawan, kini tak berdaya berlutut di bawah batu besar, terpasung oleh beratnya kesedihan.
Di teras rumah dengan atap bolong-bolong itu ia duduk menatap rinai hujan. Tatapan yang mengundang napas panjang, dan dalam sekali. Tetesan air itu membawa memori. Di butiran hujan itu tergambar kenangan. Wajah-wajah yang kini meninggalkannya. Namun Itu kesalahannya sendiri. Hanya penyesalan yang diam-diam menggerogoti kebahagiaan yang seharusnya menemaninya sekarang. Tiap sore kalau letih bekerja, ia hanya merenung dan berharap waktu bisa di putar kembali. Andai dua puluh empat tahun lalu masih bisa diulang.
***
Dua puluh empat tahun lalu...
“Pak, sudah cukup, kita tidak bisa pasang nomor lagi.” Minah memperingatkan Mahmud.
“Sedikit lagi kita akan jadi orang kaya, Bu. Nomor kali ini jitu, Bapak yakin seratus persen.” Tukas Mahmud.
“Kita sudah kehabisan uang, Pak. Anak-anak harus bayar uang sekolah, beras sudah menipis.”
“Kalau Bapak menang semua akan dibayar, kita bisa beli apapun.” Mahmud memaksa.
Pasrahlah Minah melihat tingkah suaminya. Pesta togel telah mencemari pikiran Mahmud. Saat itu ia kembali memasang angka haram itu. Ia begitu yakin menang. Kali ini pasti rezekinya lagi. Kalau menang ia bisa dapat lima juta. Waktu itu lima juta banyak sekali jumlahnya.
Dan pada hari pengumuman pemenang togel itu, Mahmud berduka. Ya. Habis sudah uang gajinya hasil bekerja di kebun sayuran. Kini ia bingung bukan main. Dimana hendak mencari makan, bagaimana membayar biaya sekolah anak-anak. Ingin ia banting tubuhnya sendiri ke tanah gersang, namun apa daya, takkan ada gunanya. Hidup tidak akan berubah hanya dengan membanting tubuh sendiri, hidup akan berubah dengan membanting tulang.
**
Sakinah, anak bungsunya kelas lima sekolah dasar yang ceria itu terus membujuk ayahnya membelikan sepatu baru.
“Sudah sobek, Pak, malu kepada teman-teman.” Timpal Sakinah saat bapaknya bertanya mengapa ia ingin sepatu baru.
“Nanti.”
“Tapi, Pak..”
“NANTI!!!” Bentak Mahmud.
Sakinah tak berani berkata lagi. Mafhum.
Kembali lembayung senja memberi corak pada sore hari. Keluarga itu begitu sibuk di penghujung siang itu. Mahmud membersihkan alat-alat perkebunan, Minah mengambil air untuk memasak dan berbagai keperluan lain, Suparti dan Maisyaroh bermain loncat tali, sementar si bungsu Sakinah belum pulang entah kemana ia bermain.
Malam sudah datang, Sakinah belum juga pulang. Pergilah Mahmud mencarinya, emosinya bergejolak, darah naik ke kepala. Kalau saja anaknya ia temukan, ia akan beri kepadanya pelajaran. Berani sudah bermain tanpa pamitan dan pulang sampai malam. Menurutnya anaknya sudah keterlaluan. Ia anggap kelakuan Sakinah bentuk perlawanan dari perkataannya. Dan ia tidak pernah terima, ia tidak pernah memaafkan orang yang melawan dirinya.
Malam itu ditemukannya Sakinah di depan toko sepatu. Mereka tinggal di dekat kota jadi tak sulit untuk menjangkau dimana toko sepatu berada. Maka Sakinah tidak mau diajak bapaknya pulang, sebelum dibelikan sepatu baru. Ia merengek. Terus. Lalu Mahmud menyeretnya sampai ke rumah.
Sampai di rumah Mahmud menghantamkan sapu lidi ke tubuh Sakinah. Bukan main kuat jeritan anaknya saat itu. Namun ia tak peduli, ia tak ragu-ragu memukul siapapun yang melawan kata-katanya.
“AAMPPUUUN, PAAK, AAMPUUUUN!!!” Jerit Sakinah dalam tangisannya.
“KAU BERANI MELAWAN SEKARANG!!!! RASAKAN INII!!” Mahmud bahkan memukul sekuat tenaga sampai anaknya tersungkur. Sapu lidi terbuyar.
“AAMPUUUN, PAAAK!!!”
Oh, dunia. Betapa kejamnya dunia. Lihatlah anak sekecil itu, yang tidak mengerti apapun kehendak dunia ini. Lihatlah.
Tak puas memukul dengan sapu lidi, Mahmud menggambil ranting kayu yang patah. Kira-kira sebesar jempol kaki. Lalu dilayangkan kayu itu ke tubuh Sakinah lagi. Sakinah menjerit lebih keras. Sakit sekali. Anak sebelas tahun menerima pukulan sekuat tenaga orang dewasa, siapa pula yang bisa menahan? Bahkan saat ia sudah tersungkur terbaring lemah, Mahmud dengan kejamnya kembali memukulkan ranting kayu itu di kakinya. Kalau Minah tidak menghentikannya, maka semalam penuh Mahmud takkan berhenti. Sementara Sakinah sudah hampir kehilangan kesadarannya karena menahan rasa sakit yang teramat sangat.
Sejak pemukulan itu, Sakinah demam tinggi. Tubuhnya juga penuh memar-memar yang didapatnya dari pukulan ranting kayu ayahnya itu. Tiap saat ia merasakan sakit. Lalu menangis.
Minah tak kuat melihat kondisi anaknya yang semakin hari semakin parah sakitnya. Ia meminta  Mahmud untuk membawa anaknya ke rumah sakit. Hari itu Mahmud dan istrinya membawa Sakinah untuk berobat. Dokter bilang sakitnya cukup parah, ditambah trauma dan ketakutannya membuat kondisi semakin memprihatinkan. Sakinah terpaksa harus dirawat inap. Mahmud menarik nafas panjang karna tidak murah membiayai perawatan Sakinah. Namun ia sadar Sakinah adalah darah dagingnya dan penyebab sakitnya anak itu adalah kelakuan kejamnya sendiri. Ia mulai menyesal.
Esok harinya dijual semua barang-barang miliknya. Sepeda yang digunakannya untuk bekerja di kebun sayur, alat-alat kebun, kursi-meja, perabot-perabot, dan lemari pakaian ia korbankan untuk membayar biaya pengobatan Sakinah. Kini ia sadar, kesalahannya selama ini menyusahkannya sendiri.
Penyakit Sakinah semakin parah. Ternyata anak sebelas tahun itu selain memar-memar dipukuli ayahnya, terjangkit demam berdarah pula. Minah yang menungguinya di rumah sakit, sementara Mahmud bekerja di kebun sayur, dan kedua kakaknya, Suparti dan Maisyaroh pergi sekolah. Setelah pulang sekolah kadang mereka datang ke rumah sakit ikut menunggui adiknya, kadang pula mereka harus jaga rumah sambil mengerjakan tugas sekolah.
Hari itu saat berat bagi Minah. Ia yang menjaga Sakinah sendiri di rumah sakit. Anak bungsunya itu sangat ceria dan manis dulunua. Biasanya ia yang membantu ibunya untuk mengambil air bersih, ia juga yang menyetrika pakaian ayahnya, ia juga yang menyapu halaman rumah. Tiba-tiba kerinduan menyusup perlahan melalui napas Minah. Kerinduan akan keceriaan anak bungsunya itu.
“Bu, dengan berat hati saya sampaikan, kondisi anak ibu sedang kritis.” Kata seorang suster memberi tahu.
“Bolehkah saya melihatnya, mbak suster?” Kata Minah.
“Maaf, bu. Nanti saja kalau kondisinya sudah stabil.”
“Tapi saya ingin melihat anak saya, mbak suster.”
“Iya. Kalau nanti tidak apa-apa, Bu.”
“Sekarang!!”
“Tapi, Bu,,”
“Sekarang..!!! Saya mau lihat anak saya sekarang juga!!!!” Tukas Minah memaksa.
Terpaksa suster mengizinkan Minah memasuki ruangan ICU. Dokter sedang menekan-nekan dada Sakinah. Entah apa yang terjadi. Saat itu sedang kemelut di ruangan. Minah yang baru masuk tiba-tiba menjerit.
“INAAAAAAAAH,  SAKIINAAAH, AANAAAKKUUU!!!” Jeritnya.
Memang benar, tak lama kemudian dokter pun menyerah. Sakinah telah tiada.
Saat Mahmud tiba di rumah sakit ia hanya dapat terduduk. Tertunduk. Menyesal sedalam-dalamnya. Ia hanya dapat melihat seonggok mayat anaknya yang ditutupi kain putih.
***
Dua puluh empat tahun kemudian...
Sejak saat kematian itu Minah terkena gangguan jiwa. Kadang ia berbicara sendiri seakan berbicara dengan Sakinah. Kadang ia tersenyum ramah. Ia pernah menghilang selama dua tahun tak punya kabar, entah kemana, namun pulang sendiri akhirnya. Dan kini ia hanya bisa mengambil air di belakang, menyapu halaman dan memasak. Ia sudah hampir tak bisa untuk berbahagia.
Sementara dua kakak Sakinah, Suparti dan Maisyaroh, setelah menikah mereka ikut suaminya ke Jawa. Sejak saat kematian adiknya mereka mambenci ayahnya, Mahmud. Akhirnya mereka pergi, tak peduli dengan berat siksaan dunia kepada ayahnya karena kesalahannya sendiri.
Tuhan murka sudah. Mahmud sekarang miskin. Rumahnya yang berada di tengah kebun kini hampir roboh. Hanya beberapa tiang penyanggah yang menahan dari keruntuhan. Namun jika angin kencang menerpa, mungkin rumah gubuk itu tinggal sejarah. Atap rumah itu bocor, kalau hujan bisa dipastikan seluruh isi rumah basah. Begitu juga dengan Mahmud dan istrinya, pasti kedinginan. Kalau malam penerangnya hanya lampu minyak tanah. Gelap sekali sekelilingnya. Nyamuk berkeliaran mencari darah, sementara tak jarang ular dan hewan liar lainnya menumpang singgah. Menyedihkan sekali.
Mahmud tua kini bekerja serabutan. Kadang ia memotong getah pohon karet yang jarak antara satu pohon dan pohon lainnya adalah lima ratus meter lebih. Dan pohon karet itu hanya berjumlah dua puluh batang. Kadang pula orang  mengupahnya untuk membersihkan kebun, atau mengangkat kayu bakar, namun tenaga tuanya tak mampu lagi untuk bekerja kasar seperti itu. Entah bagaimana nasibnya di masa akan datang.


Hujan menetes di wajah Mahmud yang menggambarkan wajah Sakinah, anaknya yang ceria dan rajin, namun telah ia dzalimi dulu. Hujan memberitahukan kesedihan anaknya melalui pelangi yang hadir laksana tangga langit. Itu Sakinah-kah yang berjalan menuju surga? Seandainya dua puluh empat tahun lalu bisa diulangi lagi. Sekali saja. Pasti pelangi yang ia lihat sekarang akan lebih berwarna, warna-warni kebahagiaan dari wajah Sakinah, Suparti dan Maisyaroh, serta Minah dan wajahnya sendiri.

Tuesday, 15 January 2013

Foto-Foto Terindah yang Membuat IAIN STS Jambi diabaikan

Bismillahirrahmanirrahim, in the name of Allah,,,

Jika kita bandingkan dengan kampus-kampus seperti UGM, ITB, UIN Yogya, UIN Malang, IPB, UNPAD, dan kampus-kampus lain bahkan UNJA dan Unbari, kampus IAIN STS Jambi mungkin masih belum dapat menyaingi dalam segi keindahan tata letak kampus. Mungkin, inilah sebagian kecil penyebabnya :

Tembok runtuh di fakultas Tarbiyah IAIN Jambi

Jalan menuju kampus dan akademik Tarbiyah

Konblok rusak disamping jalan menuju kampus IAIN

Konblok hancur disamping rektorat


Kepada seluruh mahasiswa IAIN STS Jambi, kita semua patut prihatin dengan kondisi kampus kita yang sangat perlu pembenahan dalam segi bangunan dan tata letak tempat. Mungkin jika kita memasuki kampus IAIN, kampus Mendalo khususnya, kita akan merasa memasuki hutan akasia yang tak pernah dihuni makhluk hidup kecuali monyet-monyet hitam. Semoga, dengan kepemimpinan rektor sekarang, dan dengan adanya Ma'had al-Jami'ah yang terus membangun lingkungan, menjadi secercah cahaya lilin ditengah kegelapan malam tanpa rembulan. Menjadi harapan seluruh mahasiswa IAIN STS Jambi untuk membenahi lingkungan agar menjadi lebih indah sehingga dapat dinikmati pada banyak sisi. Dengan nama Allah, Insya Allah, IAIN STS Jambi akan berubah menjadi kampus yang layak dinikmati keindahannya dan tak kalah dengan kampus-kampus lain di provinsi Jambi. Karena itu, bagi seluruh organisasi kemahasiswaan dan seluruh mahasiswa serta alumni dan simpatisan IAIN STS Jambi, kami mohon untuk bertindak dengan segera 'take action', setidaknya, dengan membantu mengirimkan doa untuk kebaikan kampus kita yang sama-sama kita cintai ini. Syukran, Jazakallah. 

Foto by Alif Rahman Hakim, Ma'had Al-Jami'ah IAIN STS Jambi


Friday, 28 December 2012

Cerpen Indah : Karena Ibu Tak Pernah Mati

Bismillahirrahmanirrahim,  in the name of Allah
By Alif Rahman Hakim

Ini adalah perburuan pertamaku. Hari ini, untuk pertama kalinya ibu mengajariku berlari mengejar mangsa dan menerkamnya dengan cakarku tepat di lehernya sehingga ia tak berkutik. Di hutan Talinko yang dihuni ratusan hewan berdaging empuk ini, dan sebagai seekor singa remaja yang hendak berkembang, debutku dimulai.
 “Jangan sampai rumput bergoyang karena langkahmu, Nak. Fokuskan matamu pada gerakannya, lalu larilah sekencang-kencangnya dan terkam salah satu dari monyet-monyet itu.” Kata ibu mengajariku.
 “Baiklah bu, aku siap berburu. Akan kudapatkan dia tepat di lehernya, lalu dia akan jadi makan malam kita.”
 “Hmh hmh, tunggu, biar ibu saja. Kau perhatikanlah baik-baik.”
 Ibu berlari mengejar monyet yang sedang asyik menyantap pisang yang baru mereka curi itu. Tentu saja mereka terkejut mendengar suara dari semak-semak, lalu dalam sepersekian detik mengambil langkah seribu tanpa fikir panjang, dan yang tersisa hanyalah kulit pisang yang berseleparan di ranting-ranting pohon Aro. Karena tak sabar, akupun ikut mengejar dengan sekencang-kencangnya.

 Semangat membakar tubuhku sehingga lariku bisa sama kencang dengan Ibu. Kami berlomba melewati pohon-pohon, menerobos semak-semak, melompati parit, berteriak pada angin dan sekuat tenaga melesat dalam belantara mengejar monyet-monyet yang sudah diatas pohon. Terlalu tinggi untuk dicapai.

 “Sudahlah Jang , cukuplah, tak usah kau kejar lagi. Besok kita berlatih berburu kancil saja, kancil tidak bisa naik pohon.” Ibu mencoba menghentikanku.
 “sedikit lagi Bu, aku akan dapatkan makan malam kita.” Jawabku yang masih bersemangat untuk membuntuti ketiga monyet itu sampai tak ada lagi pohon untuk mereka lompati. Namun, bukan makan malam yang kudapatkan, melainkan aku semakin menjauh dari hutan Talinko.

Aku tetap terus membuntuti monyet-monyet sialan itu dan sekarang aku tersesat entah dimana. Setelah letih membuntuti tiga monyet kurang ajar itu, aku berhenti di bawah pohon besar untuk rehat sebentar. Ibu tak ada di belakangku. Pohon-pohon di sekelilingku menteror dengan akar-akar yang tumbuh dari atas bak janggut kambing bandot tua. Kucoba mencari jalan keluar untuk kembali ke Talinko, namun hanya pohon-pohon yang semakin aneh yang kutemukan. Mereka semakin menterorku dengan sosok yang tak senang dan tatapan kebencian. “Dasar makhluk asing bodoh, beraninya kau masuk kedalam kekuasaanku.” Itulah arti terornya barangkali. Ditambah lagi dengan lumpur hidup penghisap, menenggelamkan semua yang lewat diatasnya. Nyaliku ciut. Dan aku tak tahu entah apa yang akan terjadi padaku dalam beberapa menit. Bisa saja hewan buas yang lebih besar juga menginginkan daging empukku, atau lumpur penghisap akan menyedotku, atau aku akan mati ketakutan.

 Ternyata benar. Tiba-tiba suasana berubah menjadi lebih mencekam. Suara-suara menghilang, monyet-monyet-pun tak nampak lagi. serangga-serangga tak sibuk bekerja lagi, burungpun senyap. Angin semakin kencang bersama dengan tenggelamnya si mentari. Dan pertama kalinya dalam hidupku, bulu kudukku merinding. Seakan memberitahu akan ada marabahaya yang akan lewat disekitarku. Kurang ajar betul!

 Dari semak-semak dibelakangku, secara mengejutkan muncul sesosok ular besar, perutnya sebesar pohon kelapa dan kepalanya miring. Ular itu langsung ingin menyambarku tanpa memberiku ruang untuk melarikan diri. Namun beruntung aku sempat mengelak dari sambarannya sehingga kepala miringnya membentur pohon. Keras sekali. Mungkin itulah kenapa kepalanya berubah miring, karena terlau sering membentur pohon ketika meleset menyambar mangsanya. Ular itu, dengan taring sebesar jempol tangan manusia, terlihat sangat lapar bak tak bertemu daging empuk selama setengah tahun. Kini ia menatapku bagaikan orang lapar melihat hidangan ayam goreng dan nasi panas mengepul ditambah sambal terasi. Aku adalah mangsanya sekarang.

 Aku berlari menghindarinya sambil terkencing-kencing. Rasa takut ini jika bisa kugambarkan maka bentuknya seperti gunung api yang sedang meletus. Hari yang semakin gelap mengganggu pandanganku dan itu akhirnya membuatku terjebak dalam lumpur penghisap. Kuraih kayu yang melintang untuk pegangan agar tubuhku tak terhisap kedalam lumpur menjijikkan itu. Aku semakin takut, kini gunung meletus itu menghancurkan gunung-gunung lain dan membakar apapun yang dilihatnya. 

Sekarang aku bagaikan kupu-kupu yang tersangkut di jaring laba-laba. Dan laba-laba itu adalah ular miring yang sedang menjulurkan lidahnya tanda tak sabar menyantapku. Aku berusaha keluar tapi kakiku terasa menginjak air sungai yang dalam. Dan si ular sekarang bersiap menyambarku…

 “ghrrrrooaoaarrrrrr,, pusssstt,, grrrr, pssshh, beraninya kau memangsa putraku. Ular sialan!” Itu Ibu. Ya. Ibu menerkam kepala si ular dan sekarang mereka beradu taring. Ibu dengan lincah menghindari patukan dan lilitan si ular. Ularpun menangkis terkaman ibu dengan lihai. Pertarungan sengit antara ibu dan si ular mengusir ratusan burung punai yang hendak memejamkan mata untuk tidur.

 Sementara Ibu sibuk bertarung dengan si ular, aku berusaha keluar dari lumpur penghisap yang semakin kencang hisapannya. Namun tak peduli seberapa keraspun aku mencoba, tanpa bantuan seseorang aku takkan bisa lolos dari lumpur ini. Saat letih berusaha dan tanganku tak kuat lagi menahan tubuhku yang sudah hampir dua pertiga terhisap, tiba-tiba tiga ekor monyet datang ke hadapanku.

Secara terkejut aku memandangi wajah mereka dan aku mengenalnya. Mereka adalah tiga monyet yang kukejar tadi. Oh, matilah aku yang bahkan tidak dapat lolos dari jebakan lumpur, sekarang tiga monyet ini akan membalas dendam. Monyet yang paling berlemak memegang pohon akasia di pinggir lumpur penghisap itu, lalu satunya lagi memegang tangannya. Dan mereka saling berpegangan sampai mereka memegang kepalaku.

 “Sampai disini mungkin waktuku. Ibu, maafkan aku. Selamat tinggal. Sebentar lagi monyet ini akan menenggelamkanku.” Ucapku dalam hati. Namun ternyata sebaliknya. Monyet-monyet itu tak menenggelamkanku, melainkan menarik kepala beratku sekuat tenaga mereka dan perlahan aku dapat lepas dari lumpur itu. Dan sekarang aku selamat, berkat monyet-monyet yang tadinya ingin kujadikan makan malam.

“Terima kasih kawan, maafkan aku tadi ingin menangkapmu.” Monyet –monyet itu hanya menjawab dengan senyuman dan kembali naik keatas pohon.

 “Ibu, ibu, dimana ibu, apakah ibu baik-baik saja.” Tanyaku pada diri sendiri.

 “Kau jangan cemas singa muda, kita akan membantu ibumu melawan ular-ular itu?”. Jawab salah satu monyet.
” “ular-ular?, oh tidak.”
 Ternyata ular itu tidak sendirian. Kami mencari ibu bersama-sama di tengah kegelapan hutan. Suara pertarungan tak terdengar lagi, diganti dengan suara juj-juj yang bersautan. Aku tiba-tiba terkejut melihat suatu pemandangan mengerikan. Tubuh ular yang tercabik-cabik menumpahkan puluhan liter darah. Dan ternyata Ibu sedang berbaring kelelahan di balik semak-semak.

 “Ibu.” Panggilku pelan.

 “Jang, apapun yang terjadi, larilah. Kau akan menjadi pemuda yang kuat nantinya, yang tak pernah kalah dengan hewan manapun. Berjanjilah pada Ibu bahwa kau akan tetap hidup dan menemukan jati dirimu sebagai calon raja hutan.” “Apa yang kau katakan, Bu. Kau juga akan tetap hidup bersamaku.” “Hmh hmh, tidak Jang, cukup sampai disini ibu menuntunmu. Sekarang kau harus temukan jalanmu sendiri. Kau harus mencari jalan yang terbaik bagimu, sayang. Kau memiliki seribu tantangan yang harus kau hadapi, dan ibu sudah mengantarmu pada gerbang petualanganmu yang sebenarnya.”

 “Bagaimana jika aku kelaparan?, aku bahkan belum bisa berburu sendiri.”

 “Teman-teman barumu akan membantumu, Nak.”

 “Bagaimana jika aku berada dalam bahaya dan tidak akan ada ibu lagi yang menyelamatkanku?” kataku. 

“Kau akan bertambah kuat, kau tidak perlu ibu lagi anakku.”

 “Bagaimana jika aku kangen Ibu?” aku terisak.

 “Jangan cemas, kita pasti bertemu lagi meskipun entah dimana. Tapi jika kau benar-benar ingin bertemu ibu, pandangilah bulan purnama yang terang sempurna. Ibu ada disana.”

 “tapi,..”

 “Sudahlah Nak, ini memang waktunya kita berpisah. Mulai hari ini kau yang akan memutuskan takdirmu. Takdir bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja kepada kita, tapi takdir adalah hal yang harus kita pilih. Pilihlah menjadi anak yang kuat!.”

“Mengapa harus ada perpisahan, mengapa harus ada kematiaaan, mengapa harus ada…”

 Tiba-tiba beberapa ekor ular besar muncul dan langsung menyambar. Aku berlari kencang meninggalkan Ibu yang sudah tak menghembuskan nafasnya. Beberapa menit yang lalu ibu masih sangat sehat, tapi sekarang ia sudah di alam baka. Bahkan aku tak sempat meratapi kepergiannya, aku tak sempat menutup matanya yang sayu. Aku tak sempat mengusap wajahnya yang penuh darah. Aku hanya berlari sambil menumpahkan air mata, membawa hati yang remuk. Laksana gelas dilindas truk.

 “Ibu, jika aku dewasa nanti dan aku sudah memiliki anak, akan ku ceritakan hari ini pada mereka agar anak-anakku mengingatmu. Jika nanti aku mengajari anak-anakku berburu, aku akan mengenangmu dalam memori terindahku. Jika aku membela anak-anakku dari hewan lain yang menyerangnya, aku akan bertarung seperti kau bertarung untukku. Jika aku harus mati demi orang-orang yang kucintai, maka kau akan bangga padaku karena kau juga melakukan itu. Untukmu aku akan menjadi sang raja hutan, aku berjanji, karena aku mencintaimu. Dan kau, kau tak pernah mati, kau selalu hidup dalam ingatanku dan dalam ingatan generasi berikutnya. Takkan ada yang melupakan pengorbananmu…”


Kawan, jika kau masih menyayangi ibumu, jika ia masih hidup, segera temui ia dan katakan kau mencintainya. Jika ia berada nan jauh dari tempatmu sekarang, jangan tunda lagi untuk menelponnya. Entah esok pagi kita masih bisa berbincang dengannya, atau tidak samasekali selamanya...