Friday, 28 December 2012

Cerpen Indah : Karena Ibu Tak Pernah Mati

Bismillahirrahmanirrahim,  in the name of Allah
By Alif Rahman Hakim

Ini adalah perburuan pertamaku. Hari ini, untuk pertama kalinya ibu mengajariku berlari mengejar mangsa dan menerkamnya dengan cakarku tepat di lehernya sehingga ia tak berkutik. Di hutan Talinko yang dihuni ratusan hewan berdaging empuk ini, dan sebagai seekor singa remaja yang hendak berkembang, debutku dimulai.
 “Jangan sampai rumput bergoyang karena langkahmu, Nak. Fokuskan matamu pada gerakannya, lalu larilah sekencang-kencangnya dan terkam salah satu dari monyet-monyet itu.” Kata ibu mengajariku.
 “Baiklah bu, aku siap berburu. Akan kudapatkan dia tepat di lehernya, lalu dia akan jadi makan malam kita.”
 “Hmh hmh, tunggu, biar ibu saja. Kau perhatikanlah baik-baik.”
 Ibu berlari mengejar monyet yang sedang asyik menyantap pisang yang baru mereka curi itu. Tentu saja mereka terkejut mendengar suara dari semak-semak, lalu dalam sepersekian detik mengambil langkah seribu tanpa fikir panjang, dan yang tersisa hanyalah kulit pisang yang berseleparan di ranting-ranting pohon Aro. Karena tak sabar, akupun ikut mengejar dengan sekencang-kencangnya.

 Semangat membakar tubuhku sehingga lariku bisa sama kencang dengan Ibu. Kami berlomba melewati pohon-pohon, menerobos semak-semak, melompati parit, berteriak pada angin dan sekuat tenaga melesat dalam belantara mengejar monyet-monyet yang sudah diatas pohon. Terlalu tinggi untuk dicapai.

 “Sudahlah Jang , cukuplah, tak usah kau kejar lagi. Besok kita berlatih berburu kancil saja, kancil tidak bisa naik pohon.” Ibu mencoba menghentikanku.
 “sedikit lagi Bu, aku akan dapatkan makan malam kita.” Jawabku yang masih bersemangat untuk membuntuti ketiga monyet itu sampai tak ada lagi pohon untuk mereka lompati. Namun, bukan makan malam yang kudapatkan, melainkan aku semakin menjauh dari hutan Talinko.

Aku tetap terus membuntuti monyet-monyet sialan itu dan sekarang aku tersesat entah dimana. Setelah letih membuntuti tiga monyet kurang ajar itu, aku berhenti di bawah pohon besar untuk rehat sebentar. Ibu tak ada di belakangku. Pohon-pohon di sekelilingku menteror dengan akar-akar yang tumbuh dari atas bak janggut kambing bandot tua. Kucoba mencari jalan keluar untuk kembali ke Talinko, namun hanya pohon-pohon yang semakin aneh yang kutemukan. Mereka semakin menterorku dengan sosok yang tak senang dan tatapan kebencian. “Dasar makhluk asing bodoh, beraninya kau masuk kedalam kekuasaanku.” Itulah arti terornya barangkali. Ditambah lagi dengan lumpur hidup penghisap, menenggelamkan semua yang lewat diatasnya. Nyaliku ciut. Dan aku tak tahu entah apa yang akan terjadi padaku dalam beberapa menit. Bisa saja hewan buas yang lebih besar juga menginginkan daging empukku, atau lumpur penghisap akan menyedotku, atau aku akan mati ketakutan.

 Ternyata benar. Tiba-tiba suasana berubah menjadi lebih mencekam. Suara-suara menghilang, monyet-monyet-pun tak nampak lagi. serangga-serangga tak sibuk bekerja lagi, burungpun senyap. Angin semakin kencang bersama dengan tenggelamnya si mentari. Dan pertama kalinya dalam hidupku, bulu kudukku merinding. Seakan memberitahu akan ada marabahaya yang akan lewat disekitarku. Kurang ajar betul!

 Dari semak-semak dibelakangku, secara mengejutkan muncul sesosok ular besar, perutnya sebesar pohon kelapa dan kepalanya miring. Ular itu langsung ingin menyambarku tanpa memberiku ruang untuk melarikan diri. Namun beruntung aku sempat mengelak dari sambarannya sehingga kepala miringnya membentur pohon. Keras sekali. Mungkin itulah kenapa kepalanya berubah miring, karena terlau sering membentur pohon ketika meleset menyambar mangsanya. Ular itu, dengan taring sebesar jempol tangan manusia, terlihat sangat lapar bak tak bertemu daging empuk selama setengah tahun. Kini ia menatapku bagaikan orang lapar melihat hidangan ayam goreng dan nasi panas mengepul ditambah sambal terasi. Aku adalah mangsanya sekarang.

 Aku berlari menghindarinya sambil terkencing-kencing. Rasa takut ini jika bisa kugambarkan maka bentuknya seperti gunung api yang sedang meletus. Hari yang semakin gelap mengganggu pandanganku dan itu akhirnya membuatku terjebak dalam lumpur penghisap. Kuraih kayu yang melintang untuk pegangan agar tubuhku tak terhisap kedalam lumpur menjijikkan itu. Aku semakin takut, kini gunung meletus itu menghancurkan gunung-gunung lain dan membakar apapun yang dilihatnya. 

Sekarang aku bagaikan kupu-kupu yang tersangkut di jaring laba-laba. Dan laba-laba itu adalah ular miring yang sedang menjulurkan lidahnya tanda tak sabar menyantapku. Aku berusaha keluar tapi kakiku terasa menginjak air sungai yang dalam. Dan si ular sekarang bersiap menyambarku…

 “ghrrrrooaoaarrrrrr,, pusssstt,, grrrr, pssshh, beraninya kau memangsa putraku. Ular sialan!” Itu Ibu. Ya. Ibu menerkam kepala si ular dan sekarang mereka beradu taring. Ibu dengan lincah menghindari patukan dan lilitan si ular. Ularpun menangkis terkaman ibu dengan lihai. Pertarungan sengit antara ibu dan si ular mengusir ratusan burung punai yang hendak memejamkan mata untuk tidur.

 Sementara Ibu sibuk bertarung dengan si ular, aku berusaha keluar dari lumpur penghisap yang semakin kencang hisapannya. Namun tak peduli seberapa keraspun aku mencoba, tanpa bantuan seseorang aku takkan bisa lolos dari lumpur ini. Saat letih berusaha dan tanganku tak kuat lagi menahan tubuhku yang sudah hampir dua pertiga terhisap, tiba-tiba tiga ekor monyet datang ke hadapanku.

Secara terkejut aku memandangi wajah mereka dan aku mengenalnya. Mereka adalah tiga monyet yang kukejar tadi. Oh, matilah aku yang bahkan tidak dapat lolos dari jebakan lumpur, sekarang tiga monyet ini akan membalas dendam. Monyet yang paling berlemak memegang pohon akasia di pinggir lumpur penghisap itu, lalu satunya lagi memegang tangannya. Dan mereka saling berpegangan sampai mereka memegang kepalaku.

 “Sampai disini mungkin waktuku. Ibu, maafkan aku. Selamat tinggal. Sebentar lagi monyet ini akan menenggelamkanku.” Ucapku dalam hati. Namun ternyata sebaliknya. Monyet-monyet itu tak menenggelamkanku, melainkan menarik kepala beratku sekuat tenaga mereka dan perlahan aku dapat lepas dari lumpur itu. Dan sekarang aku selamat, berkat monyet-monyet yang tadinya ingin kujadikan makan malam.

“Terima kasih kawan, maafkan aku tadi ingin menangkapmu.” Monyet –monyet itu hanya menjawab dengan senyuman dan kembali naik keatas pohon.

 “Ibu, ibu, dimana ibu, apakah ibu baik-baik saja.” Tanyaku pada diri sendiri.

 “Kau jangan cemas singa muda, kita akan membantu ibumu melawan ular-ular itu?”. Jawab salah satu monyet.
” “ular-ular?, oh tidak.”
 Ternyata ular itu tidak sendirian. Kami mencari ibu bersama-sama di tengah kegelapan hutan. Suara pertarungan tak terdengar lagi, diganti dengan suara juj-juj yang bersautan. Aku tiba-tiba terkejut melihat suatu pemandangan mengerikan. Tubuh ular yang tercabik-cabik menumpahkan puluhan liter darah. Dan ternyata Ibu sedang berbaring kelelahan di balik semak-semak.

 “Ibu.” Panggilku pelan.

 “Jang, apapun yang terjadi, larilah. Kau akan menjadi pemuda yang kuat nantinya, yang tak pernah kalah dengan hewan manapun. Berjanjilah pada Ibu bahwa kau akan tetap hidup dan menemukan jati dirimu sebagai calon raja hutan.” “Apa yang kau katakan, Bu. Kau juga akan tetap hidup bersamaku.” “Hmh hmh, tidak Jang, cukup sampai disini ibu menuntunmu. Sekarang kau harus temukan jalanmu sendiri. Kau harus mencari jalan yang terbaik bagimu, sayang. Kau memiliki seribu tantangan yang harus kau hadapi, dan ibu sudah mengantarmu pada gerbang petualanganmu yang sebenarnya.”

 “Bagaimana jika aku kelaparan?, aku bahkan belum bisa berburu sendiri.”

 “Teman-teman barumu akan membantumu, Nak.”

 “Bagaimana jika aku berada dalam bahaya dan tidak akan ada ibu lagi yang menyelamatkanku?” kataku. 

“Kau akan bertambah kuat, kau tidak perlu ibu lagi anakku.”

 “Bagaimana jika aku kangen Ibu?” aku terisak.

 “Jangan cemas, kita pasti bertemu lagi meskipun entah dimana. Tapi jika kau benar-benar ingin bertemu ibu, pandangilah bulan purnama yang terang sempurna. Ibu ada disana.”

 “tapi,..”

 “Sudahlah Nak, ini memang waktunya kita berpisah. Mulai hari ini kau yang akan memutuskan takdirmu. Takdir bukanlah sesuatu yang diberikan begitu saja kepada kita, tapi takdir adalah hal yang harus kita pilih. Pilihlah menjadi anak yang kuat!.”

“Mengapa harus ada perpisahan, mengapa harus ada kematiaaan, mengapa harus ada…”

 Tiba-tiba beberapa ekor ular besar muncul dan langsung menyambar. Aku berlari kencang meninggalkan Ibu yang sudah tak menghembuskan nafasnya. Beberapa menit yang lalu ibu masih sangat sehat, tapi sekarang ia sudah di alam baka. Bahkan aku tak sempat meratapi kepergiannya, aku tak sempat menutup matanya yang sayu. Aku tak sempat mengusap wajahnya yang penuh darah. Aku hanya berlari sambil menumpahkan air mata, membawa hati yang remuk. Laksana gelas dilindas truk.

 “Ibu, jika aku dewasa nanti dan aku sudah memiliki anak, akan ku ceritakan hari ini pada mereka agar anak-anakku mengingatmu. Jika nanti aku mengajari anak-anakku berburu, aku akan mengenangmu dalam memori terindahku. Jika aku membela anak-anakku dari hewan lain yang menyerangnya, aku akan bertarung seperti kau bertarung untukku. Jika aku harus mati demi orang-orang yang kucintai, maka kau akan bangga padaku karena kau juga melakukan itu. Untukmu aku akan menjadi sang raja hutan, aku berjanji, karena aku mencintaimu. Dan kau, kau tak pernah mati, kau selalu hidup dalam ingatanku dan dalam ingatan generasi berikutnya. Takkan ada yang melupakan pengorbananmu…”


Kawan, jika kau masih menyayangi ibumu, jika ia masih hidup, segera temui ia dan katakan kau mencintainya. Jika ia berada nan jauh dari tempatmu sekarang, jangan tunda lagi untuk menelponnya. Entah esok pagi kita masih bisa berbincang dengannya, atau tidak samasekali selamanya...

No comments:

Post a Comment