Saturday, 31 December 2011

BERBURU BERITA KE ANGSO DUO
Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah
Mahasantri Ma’had al-Jami’ah yang tergabung dalam tim redaksi INTI (Inspirasi Mahasantri) melaksanakan praktik latihan mencari berita di pasar Angso Duo tadi pagi (21/12). Alif Rahman(BI) dan kawan-kawan sangat antusias dan merasa tertantang dengan adanya program ini. Latihan di pandu oleh pelatih yang selama ini telah memberikan bimbingan, Andika Arnoldi, S.Sos. Tujuannya adalah untuk memantapkan kemampuan para jurnalis muda untuk mencari berita dan dapat menerbitkannya di majalah INTI.
Tim INTI yang berjumlah 18 orang dibagi menjadi 6 bagian dan masing-masing kelompok diberi tugas. tugas yang diberikan adalah mencari berita tentang harga sembako, harga daging, harga cabai, baju-baju bekas dan perubahan pasar tradisional ke pasar modern.
Saat bertugas, tim INTI banyak menemukan kendala dan hambatan, seperti pedagang yang enggan berkomentar, suasana pasar yang masih becek dan bau, sulit menemukan tempat penjual sembako yang di cari dan lain-lain. Namun akhirnya tim INTI pun dapat menyelesaikan tugas pencarian berita tersebut dan mendapatkan hasil yang cukup memuaskan.
“Banyak nian kendalanyo, becek, bau, dak tahan bau daging tu. Udah tu muter-muter lagi. Tapi ternyata seru jugo kalo di nikmati.” Ujar AA, salah satu mahasantri.
Setelah itu, tim kembali berkumpul di Labor Bahasa Ma’had al-Jami’ah guna memberikan laporan tentang informasi yang telah di dapatkan. Pelatih mengoreksi dan memberi masukan tentang cara kerja mereka sehingga untuk kedepannya akan tercipta keprofesionalan.
“kami sudah keliling pasar Tanya-tanya harga, untuk sembako nampaknya stabil menjelang tahun baru ni, Cuma minyak sayur yang naik dari Rp. 9 ribu menjadi Rp. 10 ribu. Kalo minyak tanah sudah naik sejak beberapa bulan lalu dicabut subsidinya oleh pemerintah” Ujar Andes Saputra (EI). kim

Friday, 30 December 2011

Aku dan LDK


Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah
TULISAN PUNGGUNG SANG PAHLAWAN

Written by Alif Rahman Hakim

Jambi, 2008. Bulan begitu sempurna, dikawal oleh bintang-bintang dan segerombol awan. Angin berhembus pelan. Suara gemericik air selokan terdengar samar. Jalan raya itu sepi, rumah-rumah terkunci, hanya sesekali kendaraan melintas memecahkan keheningan. Tapi tetap saja sepi, sesepi hatiku.
Hari ini, aku tak seberuntung kemarin. Buku-buku jualanku tak ada satupun yang membeli. Padahal, aku mulai berkeliling lebih awal. Mungkin, memang bukan hari ini rizkiku datang. Aku kembali dengan isi tas yang utuh. Nabi pernah berkata “Barang siapa yang hari ini lebih baik daripada kemarin, maka ia adalah orang-orang yang beruntung”. Tapi aku, apa? Aku adalah orang yang lebih buruk dari kemarin. Buktinya, pendapatanku tak ada. Tak sesuai dengan umat yang diharapkan Nabi
Aku letih, pasrah. Minta ampun kepada Allah, sang pengendali kehidupan. Barangkali aku pernah melakukan dosa yang membuat Ia tak suka, sehingga sekarang langit menahan hasil kerja kerasku.
Dengan terengah-engah, aku terus mengayunkan kaki kearah jalan pulang. Hampir jam 12. Rumahku masih jauh, tiga kilometer lagi. Sementara tak ada satupun angkot atau ojek yang lewat. Terpaksa aku harus berjalan dengan kaki yang hampir roboh ini. Berat. Aku hampir putus asa. Tetapi setiap kali aku berfikir untuk menyerah, tergambar wajah Khanzana, istri yang kunikahi beberapa bulan lalu. Apalagi sekarang ia sedang mengandung calon buah hati kami, tak tega rasanya jika ia menderita. Biarlah aku yang pontang panting mencari nafkah. Kelak, akan kubelikan rumah yang indah, mesin cuci, kasur yang nyaman, televisi dan sebagainya, agar hidup kami sejahtera dan bahagia. Aku janji.
Oh iya, aku Gafur. 25 tahun. Lulusan SMA yang sekarang bekerja sebagai pedagang buku keliling. Sesekali aku juga berjualan obat herba alami dan islami yang bebas dari bahan kimia dan efek samping. Aku tinggal di desa Talinko, desa kecil dipinggir kota Jambi. Jaraknya sekitar 10 km dari pusat kota. Inilah desa dimana aku lahir dan besar. kelak, aku akan membuat desa ini maju. Itu cita-citaku.
Angin berhembus lebih kencang, menggoyangkan pohon-pohon beringin di pinggir jalan. Bulan mulai bersembunyi di balik kegelapan awan. Bintangpun lari. Tiba-tiba terdengar suara petir yang menggelegar, kilat menyambar, gerimispun turun. Merintikkan atap rumah-rumah warga yang sedang terlelap. Semakin dingin. Kupercepat langkahku, semoga Khanzana masih menungguku.
Hujan pun turun, semakin lebat. Aku berteduh di teras rumah kecil. Lebih tepatnya, pos yang sudah tidak digunakan untuk ronda lagi. Rumah mewah berlampu putih dan kuning terlihat begitu megah di seberang jalan. Begitu besar dan kokoh. Mungkinkah aku bisa memilikinya?. Mungkin.
Jam tangan casio-ku menunjukkan pukul 00.15, pasti Khanzana khawatir. Tak biasanya aku pulang selarut ini. Sebaiknya kuberi kabar lewat SMS bahwa aku masih di perjalanan pulang, sebaiknya dia tidur duluan.Mataku memandang ke kiri kanan jalan. Kosong. Suara juj-juj pun tak ada. Hanya rintikan hujan yang mengecil pertanda mulai reda. Tiba-tiba kulihat tiga orang berpakaian hitam. Satu diantaranya berambut gondrong. Satu berbadan besar, satu lagi kurus tinggi. Mereka berjalan mengendap-endap. Seakan-akan keberadaannya tidak ingin diketahui orang lain. Sangat mencurigakan. Si gondrong mengeluarkan sesuatu dari jaket hitamnya. Seperti kunci, bukan, lebih tepatnya jarum yang dapat berfungsi sebagai kunci. Yang dapat membuka hampir semua pintu. Ia masukkan jarum itu ke lubang kunci, lalu menggoyang-goyangkannya. Aku semakin curiga. Sebenarnya siapa mereka dan apa yang mereka inginkan? Mungkinkan mereka pencuri, atau perampok? Mungkin saja.
Kuputuskan untuk mendekati mereka dan bertanya.
“maaf tuan, apakah rumah ini milik anda? Bolehkan aku menumpang istirahat sebentar. Sungguh, aku kedinginan. Aku sakin orang-orang baik seperti anda tidak keberatan menolongku”. Tanyaku berpura-pura.
Mereka agak terkejut. Lalu salah tingkah. Si badan besar hendak menjawab
“kami hanya….” Langsung dipotong si gondrong.
“benar, ini rumah saya. Tadi kuncinya hilang sewaktu di diskotik, jadi terpaksa saya membukanya dengan jarum pembuka pintu ini”. Jawabnya
“waah, anda hebat sekali. Bahkan sebelum pergi ke diskotik, anda tahu kunci anda akan hilang. Sehingga anda mempersiapkan jarum pembuka untuk jaga-jaga. Benar-benar perhitungan yang matang. Kalau begitu, silahkan buka rumah anda.”
“tapi, em, hehe iya. Saya sedang berusaha”. Jawabnya terbata-bata.
Si gondrong meneruskan membuka pintu. Setelah berusaha beberapa menit, klek. Terbuka.
“tunggu, kalian ingin mencuri kan? Jujur saja. “ tembakku
Tanpa menjawab. Mereka langsung memelototiku. Tatapan kebencian.
“sekarang, habisi dia John!” kata si gondrong.
Jonh yang berbadan besar tiba-tiba meluncurkan pukulannya kearah perutku. Aku coba menangkis dengan tangan kiriku, tapi tangannya lebih kuat dan akupun terkena pukulan. Sakit, aku terbatuk-batuk. Buku-buku jualanku terjatuh berserakan. Lalu si kurus tinggi memegang tanganku erat. Giliran si gondrong menendang tepat di dadaku. Sakit bukan main. Dadaku sesak. Tak puas, si gondrong meluncurkan pukulan lagi akearah wajahku, sebelum pukulan itu mendarat, akau tendang tepat di perutnya. Untungnya ia kena. Tak sia-sia dulu aku pernah mengikuti bela diri Tapak Suci. Si kurus tinggi masih memgang tanganku erat dari belakang, kucoba melepaskan diri. Ketika ia lengah, aku sikukan sikutku ke perutnya, kena. Ia kesakitan dan mudah bagiku untuk lepas dari cengkramannya. Akupun lolos.
Jika aku meneruskan perkelahian ini, aku yakin aku yang akan kalah. Secara jumlah saja mereka lebih banyak. Aku putuskan untuk kabur saja. Yang terpenting, aku sudah berusaha menjalankan apa yang dikatakan ustadz dulu. “amar ma’ruf nahi mungkar dimanapun kau berada. Jadilah kader umat yang selalu berkorban. Maka kebahagiaanlah yang akan mencarimu.”
Sambil menahan rasa sakit, aku berlari sekencang-kencangnya. Nafasku terengah-engah. Berat dan sesak. Bagaimanapun, mereka dapat berlari lebih kencang dariku. Si gondrong hampir menangkapku. Tapi terus kupercepat lariku. Aku tidak mau mati konyol.
Aku terus berlari melewati lorong yang sempit. Percikan air sisa-sisa hujan yang menggenang mengotori sepatu hitamku. Pencuri-pencuri itu sudah tidak terlihat lagi. Tertinggal dibelakang. Mungkin inilah yang dinamakan The Power of Kepepet. Saat dalam bahaya, manusia bisa berlari sangat kencang, bahkan pagar yang tingginya tiga meter pun bisa di loncati.
Persis di depan sebuah rumah kecil, aku kelelahan dan terjatuh. Pandanganku kabur dan samar. Teriakan pencuri-pencuri itu terdengar semakin mendekat. Tapi aku sudah tak kuat lagi. Kucoba tuk berdiri. Tetapi pandanganku malah menjadi gelap. Lalu kembali kabur. Seperti kaca yang dihinggapi embun.
Beberapa saat kemudian, kulihat ada empat orang. Tiga diantara mereka adalah pencuri itu. Tapi yang satu lagi bukan lah orang yang kukenal. Ia membelakangiku sehingga aku tak bisa melihat wajahnya. Hanya tulisan di jaket hijaunya yang dapat ku baca. “LDK AL-USWAH”. Tulisan di punggung iu, bergoyang-goyang. Lalu kabur. Setelah itu akupun tak bisa melihat apapun. Semoga orang yang dipunggungnya bertuliskan LDK AL-USWAH tadi adalah orang kiriman Allah untk menolongku. Akupun ambruk, tak sadarkan diri.
Saat sadar, Khanzana sudah di sampingku. Aku terbaring lemah. Seorang lelaki sekitar seumuran denganku, ada di sebelah Khanzana. Wajahnya tidak terlalu asing. Hanya potongan rambutnya saja yang agak berubah. Dengan agak terkejut, aku panggil dia,
“Arfan! Benarkah itu dirimu”
“Iya, tadi kau kutemukan di jalan dekat rumah pamanku. Sesorang telah menolongmu melawan para penjahat itu, tapi dia juga babak belur. “ jawab Arfan.
“apa kau mengenalnya?” tanyaku.
“Tidak, apa kau mengingat wajahnya?”
“Tidak, hanya tulisan di punggungnya.”
“apa?”
“LDK AL-USWAH. Siapa pun dia, terima kasih”.
“terima kasih, sesorang dari LDK AL-USWAH”.
Tak lama kemudian, Arfan pamit pulang. Aku dan istriku, Khanzana, tertidur dengan menyimpan ketenangan. “Wajah yang berseri. Hidup ini indah”. kataku.

Thursday, 22 December 2011

MONYET-MONYET TALINKO

Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah



Pelangi tergambar di dinding langit. Matahari yang tadinya bersembunyi dibalik awan kini kembali melemparkan sinarnya ke setiap sudut hutan Talinko yang tenang. Pohon-pohon pisang masih menyimpan sisa-sisa hujan. Angin bertiup dingin. Tapi tetap hangat bagi Wimbe, Minte dan Pongka, monyet-monyet yang selalu berkelana mencari pisang dan jagung di ladang pak tani.
“tunggu apa lagi, makan sepuasnya sebelum pak tani datang”. Kata Wimbe.
“kalau begitu ayo naik, lahap si kuning yang membuat lidahku gatal itu.” Sahut Minte.
Wimbe memakan dua pisang sekaligus. Pongka santai dengan teriakan kecilnya. Hari ini, keberuntungan sedang menempel pada mereka. Pisang masak pak tani cukup untuk membuat mereka puas.
Tiba-tiba, brukkhkkh. “aaaaaiaiiiiiiiiiikkhhh” batu sebesar genggaman tangan menghantam tubuh Pongka. Ia menjerit. Nyaris pingsan. Kakinya terpeleset dari pohon pisang lalu bruuuuukkkkkkk jatuh ke tanah. Dari ekspresi Pongka, bukan main sakitnya.
Karena terkejut dan panik, Wimbe dan Minte langsung melompat, di sambutnya kaki Pongka dan merekapun lari terbirit-birit.
“aikkk aiikkk pak tani datang. Cepat larii!”
“tunggu, jangan tarik kakiku. Apa kalian pikir aku gerobak sayur. Berhenti! Aku bisa lari sendiri”. Teriak Pongka yang terseret-seret.
“kalau tidak ditarik lari, kau akan ditangkap oleh pak tani, kau akan digorok”. Jawab Minte.
“kalau begitu aku pura-pura tidur saja”. Kata Pongka
“jangan, percuma, Ia akan memasukkanmu kedalam karung lalu menjualmu ke kota”. Sahut Minte lagi.
“kalau begitu kita lari saja”. Ujar Pongka marah
“Kita memang sedang lari, memangnya kita sedang tiduran” teriak Wimbe.
Teriakan panjang berkali kali terdengar. Pertengkaran kecil diantara mereka bertiga menciptakan hangatnya persahabatan. Tapi kali ini, pak tani benar-benar murka. Betapa tidak, pisang yang susah payah ditanamnya kini dihabisi oleh tiga ekor monyet hutan. Menyedihkan sekali.
Wimbe, Minte dan Pongka masih berlari memasuki belantara hutan Talinko. Pak tani sudah tak terlihat lagi. Ranting demi ranting mereka lewati, dahan per dahan mereka loncati. Lincah. Menggoyangkan dedaunan. Seakan mereka bebas melakukan apapun.
“kau tadi dapat berapa buah?”. Tanya Wimbe kepada Minte.
“sepuluh buah, lumayan”. Jawabnya.
“hahahaha, lebih baik tidak usah mencuri kalau hanya dapat sepuluh”. Ejek Wimbe sombong.
“kau sendiri tidak bisa menanamnya, kan?”. Jawab Minte tidak mau kalah.
“hahahhahahhahhhahhahaa” mereka tertawa. Lepas. Tak ada beban yang tersisa di raut wajah.
Sambil terus berlari, Wimbe mengunyah sisa kulit pisang. Suara gesekan daun yang bergoyang setelah dilewati mereka, mengundang perhatian burung-burung pemburu madu yang mendekati bunga-bunga. Suasana alami menghiasi udara yang mulai hangat.
Tiba-tiba terdengar dari kejauhan suara asing yang aneh. Suara itu mendekat. Semakin lama semakin keras. Seperti suara seekor sapi, tapi suara ini tidak putus-putusnya berbunyi. Hanya saja kadang agak pelan kadang kencang. Wimbe menutup kedua telinganya. Pongka dan Minte terkejut bukan main. Suara itu benar-benar asing di telinga mereka.
Brrmrmmrrrmm brrrrmmmmm dkkk deg. Suara itu berhenti. Diam sejenak. Karena penasaran, Pongka langsung mengejar sumber suara itu. Terlihat sebuah benda hitam besar. Lebih besar dari harimau. Berbentuk kotak dan bermoncong. Asap keluar dari ekornya. Wajahnya bening, tergambar bayangan pohon yang hijau. Anehnya, setelah berhenti bersuara, benda itupun tak bergerak. Pertanyaan mulai memasuki alam fikir mereka bertiga.
“binatang apa sebesar itu?”. Tanya Wimbe.
“mungkin temannya gajah atau jerapah hitam. Tapi, tak ada belalai ataupun lehernya. jangan-jangan binatang jadi-jadian. baru kali ini aku melihatnya”. Jawab Minte.
“pastinya, hewan ini ber-akselerasi tinggi. Dia cepat.” Sambung Pongka.
“dari mana kau tahu? Kau kan bodoh.” Wimbe meremehkan.
“Heeei, jangan bilang aku bodoh. Jangan memanggilku seperti itu! Aku tahu dari suaranya yang cepat medekat. Artinya binatang ini bisa berlari cepat. Tidak seperti kau yang lambat, Wimbe.” Balas Pongka.
“oh begitu, kau pintar juga ya.”
“heeeei, bukankah barusan kau bilang aku bodoh?” teriak Pongka lagi.
“sudahlah diam”. Seru Minte. “Binatang itu membuka telinganya yang besar sekali.”
Daun telinga hewan besar itu terbuka, besar sekali. Jadi hewan apakah itu?. Tiba-tiba keluar dua orang dari dalam hewan itu dengan membawa benda panjang. Mereka memakai baju hijau loreng-loreng. bertopi koboi. Tak lama kemudian, orang-orang itu pun menghilang ditelan lebatnya daun hutan Talinko.
Tiga monyet itu pun semakin penasaran.
“Mungkin binatang ini sejenis kuda, buktinya ia bisa ditunggangi manusia.” Ucap Wimbe.
“binatang dengan gelombang bunyi sangat tinggi, berbadan besar, hitam tak berbulu, berkaki empat dan bulat. Hmm. dari ekornya dapat mengeluarkan asap. Binatang apa itu?” Pongka penasaran.
“orang-orang itu sudah pergi, mari kita dekati kawan-kawan.” Ajak Minte.
“apakah tidak berbahaya Minte?.” Tanya Wimbe takut.
“tidak apa-apa Wimbe, dia tidak akan memakan monyet bau seperti dirimu”. Jawab Pongka.
“baiklah”.
Mereka pun mendekatinya pelan-pelan. Dengan hati-hati, Pongka mencoba menyentuh dan menggosok-gosok tubuhnya. Dingin. Seperti mati. Minte mencari-cari dimana mulut hewan besar itu, tapi tidak ketemu. Sementara itu, Wimbe masih ketakutan dan agak sedikit ragu-ragu untuk mendekatinya. Beberapa menit kemudian, mereka semakin penasaran karena binatang ini tak jua bergerak sama sekali. Bahkan, bernafas pun tidak. Mungkinkah ia mati, mungkinkah orang-orang bertopi koboi tadi sudah membunuhnya. Dan suara kerasnya tadi adalah jeritan kesakitan. Apa yang telah orang-orang itu lakukan kepada hewan ini?. Belum ada yang bisa menjawabnya.
Tiba-tiba, telinga hewan ini terbuka. Ada ruangan ksong di dalamnya. Inilah yang menjadi tempat tunggangan orang-orang tadi.
“hei, Minte, lihat. Kau berhasil membuatnya membuka telinganya.”
“aku hanya menariknya pelan. Lalu bagaimana sekarang?” ujar Minte.
“aku akan masuk”.
Pongka masuk. Ia duduk di dalam rongga kepala hewan itu. Ia menemukan benda bulat yang bisa diputar ke kiri dan kanan. Lembut dan fleksibel ke arah putarannya. Pongka menginjak sesuatu. Anehnya, setelah di injak, benda itu naik lagi ke tempat semula. Seperti pedal. Ada sebuah benda seperti kayu kecil tersangkut. Pongka mencoba mengambilnya. Tetapi tidak bisa. Ia coba lagi.
Tiba-tiba, chhhhhthhhthhttt. Hewan itu menjerit lagi. Spontan Minte yang berdiri di dekat telinga si hewan besar, terkejut dan mendorongnya sehingga telinganya tertutup. Wimbe yang berada di depan wajahnya langsung menunduk. Pongka masih di dalam tubuh binatang besi itu.
“ada apa, tolong, aku masih di dalam. Jangan bangun dulu bapak gajah aneh.” “keluarkan aku”. Pongka panic, sambil menggedor daun telinga yang tadi terbuka. Binatang itu tak menjawab. Hanya teriakan yang semakin mengeras ketika Pongka menginjak benda di kakinya.
“tolong aku ibunda, aku takut dengan jerapah hitam ini. Lolongannya jauh lebih menakutkan daripada lolongan anjing pak tani”. Kata Wimbe sambil menyembunyikan wajahnya ke semak-semak.
Minte langsung lompat ke pohon. “Pongka, kau tidak apa-apa di dalam? Apa yang kau lakukan sehingga membuatnya bangun dan marah?” kata Minte mencemaskan Pongka.
Percuma, Pongka tidak bisa mendengar apapun. Ia hanya melihat Wimbe yang ketakutan dan Minte yang berkomat-kamit tidak jelas. Yang ia dengar hanyalah suara hewan besar itu.
Pongka mencoba memukul-mukul apa yang ada di penglihatannya. Ia mengamuk. Tiba-tiba, derrrrrnnnnn. Binatang ini berjalan ketika Pongka menginjak sesuatu di bawah kakinya.
“waaaaa, tolong akuuuuuuu! Binatang ini mau larii. Toloooooooong!” teriak Pongka. Tapi tak ada yang mendengarnya. Binatang itu terus berjalan lurus.Wimbe dan Minte mencoba mengejar dari belakang. Rasa takut mereka sekejap hilang karena sahabatnya dalam bahaya.
“Minte, apa dia memakan Pongka?”
“Mungkin lah Wimbe, yang penting ayo kita tolong sahabat kita”.
Minte an Wimbe pun meloncati pohon dengan cepat. Akhirnya, mereka bisa mengejar. Mereka loncat tepat di depan muka binatang itu. Terlihat Pongka di dalam, ia tidak apa-apa.
“heei binatang besar jelek dan bau. Berhentiiiiiiiiiiii!” teriak wimbe sambil memukul wajah binatang itu. Tapi ia tak jua berhenti. Minte juga berusaha memukul-mukulkan tangannya. Tapi percuma. Tidak ada jawaban.
Binatang itu terus berjalan tepat menuju sungai kecil. Ia terus melaju dan byuuuuurrrrrrr. Mereka tercebur ke sungai.
“haha, ternyata kau memang bau dan sekarang kau ingin mandi, bintang jelek”. Kata Wimbe.
Pongka berusaha membuka telinga lebar itu. Karena terhantam batu sungai, telinga itu pun bisa dibuka. Pongka bisa keluar. Hanya basah kuyup di seluruh bulu. Dengan cepat mereka bertiga lari. Teriakan dan ejekan terus mereka lontarkan kepada binatang yang tidak bergerak lagi setelah berhenti di sungai itu. Sungguh menegangkan. Ini akan menjadi bahan cerita untuk teman-teman di rumah monyet.

written by
Alif Rahman Hakim

ditunggu y, versi Inggris nyaaa