MONYET-MONYET TALINKO
Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah
Pelangi tergambar di dinding langit. Matahari yang tadinya bersembunyi dibalik awan kini kembali melemparkan sinarnya ke setiap sudut hutan Talinko yang tenang. Pohon-pohon pisang masih menyimpan sisa-sisa hujan. Angin bertiup dingin. Tapi tetap hangat bagi Wimbe, Minte dan Pongka, monyet-monyet yang selalu berkelana mencari pisang dan jagung di ladang pak tani.
“tunggu apa lagi, makan sepuasnya sebelum pak tani datang”. Kata Wimbe.
“kalau begitu ayo naik, lahap si kuning yang membuat lidahku gatal itu.” Sahut Minte.
Wimbe memakan dua pisang sekaligus. Pongka santai dengan teriakan kecilnya. Hari ini, keberuntungan sedang menempel pada mereka. Pisang masak pak tani cukup untuk membuat mereka puas.
Tiba-tiba, brukkhkkh. “aaaaaiaiiiiiiiiiikkhhh” batu sebesar genggaman tangan menghantam tubuh Pongka. Ia menjerit. Nyaris pingsan. Kakinya terpeleset dari pohon pisang lalu bruuuuukkkkkkk jatuh ke tanah. Dari ekspresi Pongka, bukan main sakitnya.
Karena terkejut dan panik, Wimbe dan Minte langsung melompat, di sambutnya kaki Pongka dan merekapun lari terbirit-birit.
“aikkk aiikkk pak tani datang. Cepat larii!”
“tunggu, jangan tarik kakiku. Apa kalian pikir aku gerobak sayur. Berhenti! Aku bisa lari sendiri”. Teriak Pongka yang terseret-seret.
“kalau tidak ditarik lari, kau akan ditangkap oleh pak tani, kau akan digorok”. Jawab Minte.
“kalau begitu aku pura-pura tidur saja”. Kata Pongka
“jangan, percuma, Ia akan memasukkanmu kedalam karung lalu menjualmu ke kota”. Sahut Minte lagi.
“kalau begitu kita lari saja”. Ujar Pongka marah
“Kita memang sedang lari, memangnya kita sedang tiduran” teriak Wimbe.
Teriakan panjang berkali kali terdengar. Pertengkaran kecil diantara mereka bertiga menciptakan hangatnya persahabatan. Tapi kali ini, pak tani benar-benar murka. Betapa tidak, pisang yang susah payah ditanamnya kini dihabisi oleh tiga ekor monyet hutan. Menyedihkan sekali.
Wimbe, Minte dan Pongka masih berlari memasuki belantara hutan Talinko. Pak tani sudah tak terlihat lagi. Ranting demi ranting mereka lewati, dahan per dahan mereka loncati. Lincah. Menggoyangkan dedaunan. Seakan mereka bebas melakukan apapun.
“kau tadi dapat berapa buah?”. Tanya Wimbe kepada Minte.
“sepuluh buah, lumayan”. Jawabnya.
“hahahaha, lebih baik tidak usah mencuri kalau hanya dapat sepuluh”. Ejek Wimbe sombong.
“kau sendiri tidak bisa menanamnya, kan?”. Jawab Minte tidak mau kalah.
“hahahhahahhahhhahhahaa” mereka tertawa. Lepas. Tak ada beban yang tersisa di raut wajah.
Sambil terus berlari, Wimbe mengunyah sisa kulit pisang. Suara gesekan daun yang bergoyang setelah dilewati mereka, mengundang perhatian burung-burung pemburu madu yang mendekati bunga-bunga. Suasana alami menghiasi udara yang mulai hangat.
Tiba-tiba terdengar dari kejauhan suara asing yang aneh. Suara itu mendekat. Semakin lama semakin keras. Seperti suara seekor sapi, tapi suara ini tidak putus-putusnya berbunyi. Hanya saja kadang agak pelan kadang kencang. Wimbe menutup kedua telinganya. Pongka dan Minte terkejut bukan main. Suara itu benar-benar asing di telinga mereka.
Brrmrmmrrrmm brrrrmmmmm dkkk deg. Suara itu berhenti. Diam sejenak. Karena penasaran, Pongka langsung mengejar sumber suara itu. Terlihat sebuah benda hitam besar. Lebih besar dari harimau. Berbentuk kotak dan bermoncong. Asap keluar dari ekornya. Wajahnya bening, tergambar bayangan pohon yang hijau. Anehnya, setelah berhenti bersuara, benda itupun tak bergerak. Pertanyaan mulai memasuki alam fikir mereka bertiga.
“binatang apa sebesar itu?”. Tanya Wimbe.
“mungkin temannya gajah atau jerapah hitam. Tapi, tak ada belalai ataupun lehernya. jangan-jangan binatang jadi-jadian. baru kali ini aku melihatnya”. Jawab Minte.
“pastinya, hewan ini ber-akselerasi tinggi. Dia cepat.” Sambung Pongka.
“dari mana kau tahu? Kau kan bodoh.” Wimbe meremehkan.
“Heeei, jangan bilang aku bodoh. Jangan memanggilku seperti itu! Aku tahu dari suaranya yang cepat medekat. Artinya binatang ini bisa berlari cepat. Tidak seperti kau yang lambat, Wimbe.” Balas Pongka.
“oh begitu, kau pintar juga ya.”
“heeeei, bukankah barusan kau bilang aku bodoh?” teriak Pongka lagi.
“sudahlah diam”. Seru Minte. “Binatang itu membuka telinganya yang besar sekali.”
Daun telinga hewan besar itu terbuka, besar sekali. Jadi hewan apakah itu?. Tiba-tiba keluar dua orang dari dalam hewan itu dengan membawa benda panjang. Mereka memakai baju hijau loreng-loreng. bertopi koboi. Tak lama kemudian, orang-orang itu pun menghilang ditelan lebatnya daun hutan Talinko.
Tiga monyet itu pun semakin penasaran.
“Mungkin binatang ini sejenis kuda, buktinya ia bisa ditunggangi manusia.” Ucap Wimbe.
“binatang dengan gelombang bunyi sangat tinggi, berbadan besar, hitam tak berbulu, berkaki empat dan bulat. Hmm. dari ekornya dapat mengeluarkan asap. Binatang apa itu?” Pongka penasaran.
“orang-orang itu sudah pergi, mari kita dekati kawan-kawan.” Ajak Minte.
“apakah tidak berbahaya Minte?.” Tanya Wimbe takut.
“tidak apa-apa Wimbe, dia tidak akan memakan monyet bau seperti dirimu”. Jawab Pongka.
“baiklah”.
Mereka pun mendekatinya pelan-pelan. Dengan hati-hati, Pongka mencoba menyentuh dan menggosok-gosok tubuhnya. Dingin. Seperti mati. Minte mencari-cari dimana mulut hewan besar itu, tapi tidak ketemu. Sementara itu, Wimbe masih ketakutan dan agak sedikit ragu-ragu untuk mendekatinya. Beberapa menit kemudian, mereka semakin penasaran karena binatang ini tak jua bergerak sama sekali. Bahkan, bernafas pun tidak. Mungkinkah ia mati, mungkinkah orang-orang bertopi koboi tadi sudah membunuhnya. Dan suara kerasnya tadi adalah jeritan kesakitan. Apa yang telah orang-orang itu lakukan kepada hewan ini?. Belum ada yang bisa menjawabnya.
Tiba-tiba, telinga hewan ini terbuka. Ada ruangan ksong di dalamnya. Inilah yang menjadi tempat tunggangan orang-orang tadi.
“hei, Minte, lihat. Kau berhasil membuatnya membuka telinganya.”
“aku hanya menariknya pelan. Lalu bagaimana sekarang?” ujar Minte.
“aku akan masuk”.
Pongka masuk. Ia duduk di dalam rongga kepala hewan itu. Ia menemukan benda bulat yang bisa diputar ke kiri dan kanan. Lembut dan fleksibel ke arah putarannya. Pongka menginjak sesuatu. Anehnya, setelah di injak, benda itu naik lagi ke tempat semula. Seperti pedal. Ada sebuah benda seperti kayu kecil tersangkut. Pongka mencoba mengambilnya. Tetapi tidak bisa. Ia coba lagi.
Tiba-tiba, chhhhhthhhthhttt. Hewan itu menjerit lagi. Spontan Minte yang berdiri di dekat telinga si hewan besar, terkejut dan mendorongnya sehingga telinganya tertutup. Wimbe yang berada di depan wajahnya langsung menunduk. Pongka masih di dalam tubuh binatang besi itu.
“ada apa, tolong, aku masih di dalam. Jangan bangun dulu bapak gajah aneh.” “keluarkan aku”. Pongka panic, sambil menggedor daun telinga yang tadi terbuka. Binatang itu tak menjawab. Hanya teriakan yang semakin mengeras ketika Pongka menginjak benda di kakinya.
“tolong aku ibunda, aku takut dengan jerapah hitam ini. Lolongannya jauh lebih menakutkan daripada lolongan anjing pak tani”. Kata Wimbe sambil menyembunyikan wajahnya ke semak-semak.
Minte langsung lompat ke pohon. “Pongka, kau tidak apa-apa di dalam? Apa yang kau lakukan sehingga membuatnya bangun dan marah?” kata Minte mencemaskan Pongka.
Percuma, Pongka tidak bisa mendengar apapun. Ia hanya melihat Wimbe yang ketakutan dan Minte yang berkomat-kamit tidak jelas. Yang ia dengar hanyalah suara hewan besar itu.
Pongka mencoba memukul-mukul apa yang ada di penglihatannya. Ia mengamuk. Tiba-tiba, derrrrrnnnnn. Binatang ini berjalan ketika Pongka menginjak sesuatu di bawah kakinya.
“waaaaa, tolong akuuuuuuu! Binatang ini mau larii. Toloooooooong!” teriak Pongka. Tapi tak ada yang mendengarnya. Binatang itu terus berjalan lurus.Wimbe dan Minte mencoba mengejar dari belakang. Rasa takut mereka sekejap hilang karena sahabatnya dalam bahaya.
“Minte, apa dia memakan Pongka?”
“Mungkin lah Wimbe, yang penting ayo kita tolong sahabat kita”.
Minte an Wimbe pun meloncati pohon dengan cepat. Akhirnya, mereka bisa mengejar. Mereka loncat tepat di depan muka binatang itu. Terlihat Pongka di dalam, ia tidak apa-apa.
“heei binatang besar jelek dan bau. Berhentiiiiiiiiiiii!” teriak wimbe sambil memukul wajah binatang itu. Tapi ia tak jua berhenti. Minte juga berusaha memukul-mukulkan tangannya. Tapi percuma. Tidak ada jawaban.
Binatang itu terus berjalan tepat menuju sungai kecil. Ia terus melaju dan byuuuuurrrrrrr. Mereka tercebur ke sungai.
“haha, ternyata kau memang bau dan sekarang kau ingin mandi, bintang jelek”. Kata Wimbe.
Pongka berusaha membuka telinga lebar itu. Karena terhantam batu sungai, telinga itu pun bisa dibuka. Pongka bisa keluar. Hanya basah kuyup di seluruh bulu. Dengan cepat mereka bertiga lari. Teriakan dan ejekan terus mereka lontarkan kepada binatang yang tidak bergerak lagi setelah berhenti di sungai itu. Sungguh menegangkan. Ini akan menjadi bahan cerita untuk teman-teman di rumah monyet.
written by
Alif Rahman Hakim
ditunggu y, versi Inggris nyaaa
Keren sob
ReplyDeletewww.kiostiket.com