Monday, 18 July 2011

Mereka Tak Ingin Menolongku, Hanya Karena Aku adalah Seekor Tikus


Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah


Sepasang suami dan istri petani pulang kerumah setelah berbelanja. Ketika mereka membuka barang belanjaan, seekor tikus memperhatikan dengan seksama sambil menggumam.


"Hmmm...makanan apa lagi yang dibawa mereka dari pasar??"

Ternyata, salah satu yang dibeli oleh petani ini adalah Perangkap Tikus. Sang tikus kaget bukan kepalang. Ia segera berlari menuju kandang dan berteriak

"Ada Perangkap Tikus di rumah!!! Di rumah sekarang ada perangkap tikus!!"

Ia mendatangi ayam dan berteriak
"Ada perangkap tikus"

Sang Ayam berkata
"Tuan Tikus..., Aku turut bersedih, tapi itu tidak berpengaruh terhadap diriku"

Sang Tikus lalu pergi menemui seekor Kambing sambil berteriak. Lalu sang Kambing pun berkata
"Aku turut bersimpati.. . tapi maaf, tidak ada yang bisa aku lakukan"

Tikus lalu menemui Sapi. Ia mendapat jawaban sama.
"Maafkan aku. Tapi perangkap tikus tidak berbahaya buat aku sama sekali"

Ia lalu lari ke hutan dan bertemu Ular. Sang ular berkata
"Ahhh...Perangkap Tikus yang kecil tidak akan mencelakai aku"

Akhirnya Sang Tikus kembali kerumah dengan pasrah mengetahui kalau ia akan menghadapi bahaya sendiri.


Suatu malam, pemilik rumah terbangun mendengar suara keras perangkap tikusnya yang berbunyi. Menandakan perangkapnya telah memakan korban.

Namun ketika melihat perangkap tikusnya, seekor ular berbisa telah terjebak di sana. Ekor ular yang terjepit membuatnya semakin ganas dan menyerang istri si Petani. Walaupun sang Suami berhasil membunuh ular tersebut, namun sang istri sempat tergigit dan teracuni oleh bisa ular tersebut.

Setelah beberapa hari di rumah sakit, sang istri sudah diperbolehkan pulang. Namun selang beberapa hari kemudian demam tinggi yang tak turun-turun juga. Atas saran kerabatnya, ia membuatkan isterinya sup ayam untuk menurunkan demamnya.

Semakin hari bukannya semakin sembuh, justru semakin tinggi demam isterinya. Seorang teman menyarankan untuk makan hati kambing. Ia lalu menyembelih kambingnya untuk diambil hatinya.

Masih! Istrinya tidak sembuh-sembuh dan akhirnya meninggal dunia.

Banyak sekali orang datang pada saat pemakaman. Sehingga ia harus menyembelih sapinya untuk memberi makan orang-orang yang melayat.

Dari kejauhan sang Tikus menatap dengan penuh kesedihan. Beberapa hari kemudian ia melihat Perangkap Tikus tersebut sudah tidak digunakan lagi di rumah itu.
Nilai-nilai yang bisa kita ambil dari kisah di atas, suatu ketika Anda mendengar seseorang sedang dalam kesulitan atau masalah dan Anda mengira itu bukan urusan Anda, maka pikirkanlah sekali lagi.

Sumber :
sourceflame.blogspot.com

Friday, 8 July 2011

Man Jadda Wajada 2


Bismillahirrahmanirrahimin the name of Allah

Apakah aku bisa mencapainya? Deck itu tinggi sekali, dengan kaki selemah ini loncatanku tidak akan sampai. Apalagi tubuhku pendek dan tanganku kecil. Rasanya tidak mungkin. Tidak. Hhhhh. Tapi apa salah nya dicoba. Fikirku. Ku ambil ancang ancang untuk melompat, mundur beberapa langkah, lalu siap-siap berlari. Ya. Aku bisa. Aku mulai berlari beberapa meter dan,.. Kaki ku menolak lantai, tubuhku seakan-akan terbang, tangan aku panjangkan untuk menyentuh deck teras asrama kami yang lumayan tinggi itu. Aku menggapainya semaksimal mungkin, aku yakin ini pasti berhasil, aku pasti bisa menyentuhnya. Tapi, bruukhhk, aku tidak menyentuh apapun, malah tubuh yang kecil ini terhempas di lantai semen teras. Sakit. Tapi menyenangkan. Kuulangi beberapa kali, tapi belum juga aku dapat menyentuhnya, kucoba mengambil ancang-ancang lebih jauh agar lariku lebih cepat saat melompat sehingga lompatanku akan lebih tinggi. Kali ini pasti berhasil. Aku yakin. Satu, dua, tiga, larii dan lompaaat, lalu yaaaaaa, brrukkkkkhhhh, aku jatuh lebih keras dan masih belum dapat menyentuhnya. Sakitnya terasa dua kali lipat. Aaakkkkkkhhh. Teriakku. Tapi, mungkin aku harus coba sekali lagi,, anggap saja, deck itu adalah aku yang lulus ujian tahfidz, jika aku tidak bisa menyentuhnya, maka lupakanlah kelulusan ujian tahfidz itu. Memang ini terlihat konyol, tapi inilah yang membuat diriku termotivasi. Permainan yang mempertaruhkan kelulusanku. Ayo sekali lagi... Kali ini man jadda wa jada, aku bersungguh-sungguh dan aku akan lulus. Ambil ancang-ancang, kuatkan kaki, lariii... Langkah pertama, lambat, kedua, ketiga semakin cepat, selanjutnya sudah sangat cepat. Sudah sepuluh meter baru aku hentakkan kaki ku, panjangkan tangan, lalu, masih belum, tubuhku terus melayang keatas, srrttttt... Yaaa. Aku berhasil. Aku berteriak sekeras-kerasnya dalam hati. Tapi, brrkkkkkkkk. Tubuhku terhempas lantai yang keras dan rasanya tak bisa kubayangkan sakit yang seperti itu lagi. Anehnya tak ada teriakan dari mulutku seperti biasanya. Mungkin karena rasa sakitnya sudah terlalu, atau karena senang dapat menyentuh deck yang cukup tinggi itu. Itu tandanya, aku akan lulus ujian tahfidz. Iyakah? Belum tentu, lihat dulu usahaku selanjutnya.

Sejak hari itu, aku bertekad untuk tidak akan menyerah. Aku mulai menghafal, masih empat surah lagi, tapi waktu hanya kurang dari sepuluh hari. Setiap hari kuhabiskan waktuku dengan menghafal, hari pertama aku langsung dapat menghafal at-takwir, selanjutnya abasa dapat kuhafal dalam dua hari, an-naziat empat hari baru yang terakhir an-naba juga hanya sehari. Ternyata, luar biasa rumus man jadda wa jada itu.

Ujian tahfidz pun tiba, dua hari sebelum ujian, dua sahabat baikku telah dinyatakan lulus. Aku merasa sudah dikalahkan oleh mereka. Lalu, sehari sebelum ujian aku menemui ustadz yang mengujiku. "ustadz, ana ujian dengan antum". Kataku. "oh, iqro'" jawabnya. Aku heran, tapi senang, belum waktu ujian tapi langsung saja ustadz mau mengujiku. Aku mulai melantunkan ayat pertama surah an-naba. Kucoba semerdu mungkin, tetapi tetap juga suara cempreng ini yang keluar. Setidaknya aku membaca dengan benar. Itu saja sudah cukup bagiku. Ujianku berlangsung cukup lama bahkan jam tiga sore pun aku belum makan siang, perutku semakin lapar dan badanku lemas. Tapi semangat yang terus memberi energi pada alat-alat yang terpasang pada tubuh kecil ini. Akhirnya azan asar pun berkumandang, alhamdulillah tinggal delapan surah pendek lagi. Aku optimis, aku yakin nanti malam aku sudah lulus.

Malamnya, setelah shalat isya dan makan malam, aku mendatangi rumah ustadz lagi. "teruskan" katanya. Kuteruskan hingga sepuluh surah, akhirnya ustadzpun menyuruhku berhenti. Ia berfikir sejenak hendak memutuskan sesuatu. Ia lihat catatan di kertas selembar yang akupun tidak tahu catatan apa itu karena aku tidak bisa melihatnya. Ustadz selalu menutupi catatan itu dengan kertas lain. Lalu ustadz menatapku, tapi ia berpaling lagi dan kembali melihat catatannya. Aku menunggu, rasanya lama sekali. Akhirnya, akupun dinyatakan lulus. "sukran ustadz, afwan 'ala khoto'i ustadz" kataku. "la ba'tsa, kholash. Irji' ". Jawabnya. Entah apa rasanya, senang haru bahagia tawa, semuanya bersatu dipusatkan oleh rasa syukur kepada-nya. Sampai di kamar, langsung kulakukan sujud syukur sambil mengingat usahaku, aku yang menyerah seminggu lalu tapi akhirnya berubah pikiran dan bisa menyelesaikan ini semua. Aku yang selalu menghafal di setiap waktuku selama seminggu ini. Sungguh tak sia-sia semua itu. Man jadda wa jada

Monday, 4 July 2011

Man Jadda Wajada


Bismillahirrahmanirrahim in the name of Allah


"baiklah, kita tidak perlu ujian. Cukup analisa dan jawab pertanyaan yang saya berikan kepada kalian. Saya tunggu hasilnya minggu depan." Setelah pak Abdul berhenti berkata, spontan semua anak kelas BI 2 A bersorak gembira dengan ekspresi yang bervariasi. Bahkan ada yang hampir menghempaskan laptopnya sendiri karna kegirangan. Betapa tidak, kami tidak perlu lagi bertarung melawan soal-soal yang membuat pusing kepala karena harus berputar-putar untuk memahaminya, kami tidak perlu lagi untuk ujian semester, cukup tugas saja lalu nilai pun keluar. Setidaknya untuk satu mata kuliah, Pendidikan Anti Korupsi. Tetapi tetap saja kami harus mempersiapkan diri untuk menghadapi ribuan tinta hitam yang berbentuk huruf itu, lalu bergabung menjadi kata, di sambung lagi menjadi kalimat, sampai menjadi soal-soal yang membingungkan. karena masih ada sebelas mata kuliah lagi yang harus kami hadapi. Jika tidak bekerja keras, semangat yang kuat serta do'a, maka tidak diragukan lagi nilai pun akan keluar dibawah B. ya. setidaknya aku ingin mendapat nilai A, itu targetku.

Beberapa hari berlalu, entah apa yang yang ku rasakan setelah aku dinyatakan lulus ujian tahfidz. Padahal seminggu lalu, empat surah terpanjang di juz 30 belum ku hafal. Bagaimana bisa aku menghafalnya dalam satu minggu, jika satu surah Al-Fajr saja aku hafal dalam waktu hampir sebulan, lha ini empat surah, panjang lagi. aku sudah pasrah, semoga saja ada kesempatan tahun depan untuk kembali mengikuti ujian. sudahlah, tinggalkan saja tahfidz, yang penting bahasa Inggris dan bahasa Arab saja. fikirku minggu lalu. tapi teriakan sahabatku yang satu ini yang selalu membanggakan hafalannya, membuatku agak geram. entah kenapa timbul iri yang begitu besar. dalam bayanganku, aku melihat dia dan teman-teman lainnya sedang dinyatakan lulus ujian tahfidz dan mengibar-ngibarkan sertifikat hafal juz amma, lalu mereka menoleh kearahku dan hanya aku sendiri yang berdiri di kekosongan tanpa adanya yang menaungi kecuali Allah. lalu kubayangkan mereka menghinaku, meremehkanku, tanpa peduli apa yang kurasakan saat itu. bukan hanya mereka, tapi semuanya, ustadz, orang tuaku, mudabirin, kelompok Khafilah Dzikrullah, Gang The Masters, Team Srigala Muda dan teman-temanku yang sudah merantau ke pulau jawa, semuanya akan kecewa dan akan menganggap aku hanya seorang pecundang yang beraninya di bawah ketiak amak. Naudzubillah. lalu ku bayangkan lagi, Sungguh senangnya jika bisa lulus ujian tahfidz bersama mereka. Tiba-tiba aku sadar dari alam bawah sadarku, bukan waktunya untuk mengeluh. fortunately, aku ingat novel yang diberikan oleh ayah sewaktu aku lulus SMA. Alif pada novel Negeri 5 Menara saja tidak menyerah dengan cobaan yang tak terkira beratnya. mengapa Alif yang di dunia nyata sudah kalah hanya dengan secuil kesulitan. iya. iya. man jadda wajada. mantra itu. mantra yang menolong Alif Fikri menyelesaikan sekolahnya di pondok madani. mengapa aku tidak menggunakannya. aku berfikir keras, lalu kukepalkan tangan dan.. yaaaa. Man Jadda wa jada
to be continued